"Bisakah kamu ulang sekali lagi?" Tanya Sean terdengar bingung dan mengantuk di saat yang bersamaan. Kedua mata pemuda itu bergerak lembut seperti kupu-kupu karena ia sedang berusaha menahan kantuknya.

Fiona menghela napasnya karena ternyata Sean tidak benar-benar serius untuk belajar. Ini sudah ketiga kalinya Fiona menjelaskan soal yang sama dan pemuda itu tidak juga mengerti.

"Baiklah, perhatikan baik-baik. Jadi.." Ketika Fiona sedang asyik mengoceh bagaimana jalan keluar dari soal yang telah ia jelaskan beberapa kali itu, perkataannya seakan kabur dari telinga Sean. Karena rupanya pemuda itu tidak memperhatikan pelajarannya sama sekali.

Sean justru asyik memandangi wajah Fiona yang terlihat sangat serius ketika sedang mengajarkan penyelesaian soal itu. Pemuda itu memperhatikannya dengan seksama seakan ia sedang mempelajari wajah Fiona.

Kedua mata abu-abunya terlihat indah dan berbinar, kedua pipinya terlihat sedikit kemerahan karena udara dingin, beberapa helai rambutnya yang hitam legam keluar dari kuncirannya.

"Sama dengan, sembilan puluh delapan per seratus delapan. Sekarang berhentilah menatap wajahku dan perhatikan angkanya, Sean!" Kata Fiona yang awalnya berbicara datar namun langsung berubah tinggi ketika memanggil nama pemuda itu.

Sean sedikit terkejut, seakan baru saja tersadar bahwa dari tadi dirinya melamun dan menatap wajah sahabat masa kecilnya itu. Teguran Fiona itu juga membuatnya tersadar untuk tidak mengulurkan tangannya yang gatal karena ingin menyematkan rambut-rambut gadis itu di belakang telinganya.

"Maaf." Gumam Sean setengah hati.

"Jika kamu tidak benar-benar ingin belajar, kita sudahi saja." Jawab Fiona sambil menutup bukunya dengan wajah jengkel. Tapi Sean segera mengulurkan tangannya dan menahan Fiona untuk tetap mengajarinya. Ia berjanji untuk berusaha sekuat tenaga menahan kantuknya dan fokus.

"Kamu hanya akan membuang-buang waktuku jika kamu hanya terus berkutat di soal yang sama!" Kata Fiona terdengar kehabisan kesabarannya.

"Aku mohon, aku tidak tahu harus bagaimana lagi untuk menaikkan nilaiku. Aku tidak akan bersusah payah seperti ini jika tidak ada pertandingan penting bulan depan. Tidakkah kamu kasihan pada teman-teman setimku?" Tanya Sean berusaha membujuk gadis itu. Meskipun Fiona sama sekali tidak peduli pada teman-teman football Sean, ia merasa salut pada Sean karena ia rela belajar demi teman-temannya.

"Ayolah Fio." Bujuk Sean lagi yang kali ini sukses membuat Fiona luluh. Meskipun gadis itu menghela napasnya pasrah, ia tetap memutuskan untuk mengajar Sean. Kali ini Sean terlihat lebih serius dan ia tidak seperti seseorang yang sedang melamun, dan setiap Fiona bertanya padanya, ia bisa menjawab walaupun terkadang masih salah.

Mereka sudah menghabiskan waktu kurang lebih dua jam, Sean merasakan kepalanya panas dan ia merasa sedikit mabuk. Mabuk angka. Tanpa diinginkannya, kedua mata Sean terus-menerus menatap bibir mungil Fiona seakan bagian tubuh itu telah menghipnotisnya.

"Apakah kamu haus?" Tanya Fiona sambil menyentuh paha Sean supaya pemuda itu tersadar. Tapi pemuda itu justru mencondongkan tubuhnya seperti hendak mengecup bibir Fiona. Dengan refleks yang luar biasa, Fiona segera menahan bibir Sean yang mendekat ke wajahnya dengan telapak tangannya.

"Uhm.. Apa yang kamu pikir akan kamu lakukan?" Tanya Fiona sambil mendorong sekuat tenaga wajah Sean dari wajahnya. Pemuda itu mengedipkan kedua matanya sambil memandang wajah Fiona yang tengah merona. Sean segera menarik diri karena ia sendiri merasa malu, pemuda itu tidak mengerti mengapa ia melakukan itu.

"Aku hanya menawari kamu minum, bukan menyuruhmu menciumku." Kata Fiona terdengar dingin. Jantung Sean berdetak sangat kencang, berpikir bahwa ia sudah melewati batas sehingga Fiona mungkin saja tidak mau mengajarinya lagi. Jika memang begitu, ia mungkin harus mencari seseorang yang lebih sabar daripada Fiona.

Tepat ketika Sean hendak meminta maaf, mereka mendengar suara langkah kaki dari tangga. Dalam beberapa detik, Jacob sudah membuka pintu kamar Fiona tanpa mengetuknya. Hal itu membuat Fiona marah dan jengkel karena Jacob tidak pernah menghormati privasinya.

"Fiona, aku lapar. Apakah ada sesuatu yang dapat kamu masak untuk makan malam?" Tanya Jacob yang sama sekali tidak mempedulikan ocehan Fiona tentang mengetuk pintu dan privasi. Jacob memperhatikan Sean karena wajah pemuda itu masih merona karena rasa malu dan bersalah.

"Apakah ada sesuatu yang terjadi?" Tanya Jacob yang membuat Fiona dan Sean saling pandang. Meskipun tidak ada sesuatu yang terjadi di dalam kamar Fiona yang tertutup tadi, tetap saja Sean hampir menciumnya jika ia tidak lebih dahulu sadar.

"Tidak ada." Jawab Fiona sambil menyematkan sisa rambutnya ke belakang telinga. "Uhm, aku rasa aku bisa memesankan Mcdonalds, bagaimana menurutmu?" Jacob mengangguk bersemangat ketika Fiona bangkit dari ranjangnya dan menghampiri adik laki-lakinya. Fiona bahkan terlihat gugup saat mengulurkan tangannya lalu menyentuh pundak Jacob.

"Bagus. Aku mau BigMac karena aku sangat lapar." Kata Jacob sambil mengacungkan tangannya ke udara seakan Fiona tidak dapat melihatnya. Sean mengikuti keduanya di belakang merasa sangat gugup karena Fiona sama sekali tidak menoleh ke arahnya seakan ia tidak ada di sana.

"Ekstra keju!" Kata Jacob lagi sambil berbalik ke arah Fiona padahal ia sedang berjalan menuruni tangga. Fiona harus merangkulnya supaya anak itu tidak terjatuh dari tangga saat memutuskan untuk terus mengoceh.

"Kamu mau makan apa Sean?" Tanya Jacob yang membuat Fiona berdiri kaku di undakan tangga terakhir. Pemuda itu hanya dua tangga jaraknya di belakang Fiona, tapi ia terlihat sangat tinggi.

"Apa saja tidak masalah bagiku." Kata Sean dengan suara canggungnya. Fiona memutuskan untuk tidak melanjutkan mengajar Sean karena ia sendiri juga sudah kelelahan. Sambil menunggu pesanan mereka datang, ketiganya duduk di sofa depan televisi dan ribut untuk memutuskan film apa yang akan mereka tonton.

"Bagaimana dengan film horror?" Tanya Jacob yang sedang mencari-cari film di aplikasi film berbayar.

"Boleh." Jawab Fiona sebelum akhirnya mendengar bel pintu yang menandakan bahwa pesanan mereka telah sampai.

"Kalian yakin akan makan sambil menonton film horror?" Tanya Sean sambil mengeluarkan makanan-makanan yang ada di dalam plastik. Kakak-beradik itu menoleh ke arahnya terlihat bingung seakan itu pertanyaan bodoh.

"Yeah tentu saja, kenapa tidak?" Jawab Jacob sambil mengedipkan kedua seakan itu adalah sesuatu yang sangat jelas. Sean mengangkat alisnya bingung karena bukankah mereka akan melihat darah-darah atau sesuatu yang menjijikan dari film horror sedangkan mereka akan makan.

"Kamu takut?" Tanya Fiona sambil mendengus seakan sedang merendahkannya. Sejujurnya Sean tidak pernah suka menonton film horror, namun ketika keduanya memandang curiga beserta ekspresi menghina membuat harga diri Sean tercoreng.

"Tentu saja tidak!" Jawab Sean terdengar sok berani. Fiona mencoba menahan senyumnya karena ia tahu bahwa Sean benci menonton film horror atau thriller, itu adalah jenis film kelemahan Sean. Pemuda itu lebih menyukai film action atau misteri.

"Pilihkan yang paling seram." Kata Jacob dengan percaya diri. Sean duduk di sofa sambil memandang ke arah anak laki-laki itu.

Diam-diam Sean bertanya dalam hatinya, apakah Jacob benar-benar berusia sepuluh tahun? Bagaimana mungkin ia menyukai film horror yang seram? Tidakkah ia ingin menonton sesuatu yang berwarna dan menyenangkan seperti Handy Manny, Phineas and Ferb, Cars, atau mungkin Cocomelon?

///\\\

Don't forget to vote!⭐️
And give me some comments!❤️
Happy Reading!🌈

Little Note From The Author:
Terima kasih yang sudah bersedia untuk klik cerita ini lagi ya.

Cerita ini telah diperbaharui dan semoga dapat menjadi lebih layak untuk dibaca oleh teman-teman pembaca semuanya ya.

Vote & Commentnya ditunggu ya.

You Belong With MeWhere stories live. Discover now