Chapter 2

28.8K 856 6
                                    

"Aku tidak percaya kamu membawaku ke sekolah." Ujar Fiona ketika ia tersadar bahwa Leonard mengendarai mobilnya ke arah sekolah. Padahal tadi siang ia berjanji akan mengajak Fiona untuk menontonnya latihan band, bukannya menonton pertandingan football sekolahnya.

"Ya, tapi kamu kan tahu, Moses dan Henry masuk dalam tim football." Jawab Leonard terdengar menyombongkan kedua temannya yang masuk ke dalam tim, seakan dirinyalah yang masuk.

"Kita tidak bisa latihan tanpa mereka." Lanjut pemuda itu. Sedikit lebih nyolot dan kasar, seakan jengkel karena Fiona terlalu bodoh untuk mengerti perkataannya. Fiona hanya diam karena ia tidak ingin berargumen dengan pemuda itu karena suasana hatinya sudah buruk, ia tidak ingin memperburuk hubungannya juga.

Meskipun Fiona sudah mengetahui bahwa selama lima bulan ini pemuda itu tidak pantas untuk dikencani, ia tetap melanjutkan hubungan itu. Sebenarnya, kedua sahabat Fiona yaitu Madison Louisie dan Gabriella Carpenter sudah tidak menyetujui hubungan itu sejak awal.

Leonard adalah seorang pemuda yang suka berbicara kasar, suka memukul, berbicara semena-mena tanpa disaring dan sama sekali tidak menghargai Fiona. Sering kali Leonard berbicara merendahkan gadis itu, sehingga terkadang Fiona merasa dirinya tidak berarti.

Fiona dengan naifnya berpikir bahwa Leonard dapat berubah menjadi seseorang yang lebih baik, sehingga membuat gadis itu bertahan. Madison dan Gabriella pasrah ketika sahabat mereka tetap keras kepala dan batu ketika dinasehati.

Karena tadi adik dan mamanya membicarakan Sean, pikiran Fiona jadi melayang memikirkan pemuda itu. Jauh di dalam lubuk hatinya, gadis itu percaya bahwa Sean tidak mungkin bersikap sebagaimana Leonard kepada Fiona sekarang.

Meskipun Fiona sedih karena ia sudah tidak berteman dengan Sean, tetapi ia bersyukur karena sekarang Fiona punya sahabat perempuan yang pengertian. Yaitu Madison dan Gabriella.

***

Sebelum pertandingan football itu dimulai, Sean Mitchell mendapat serangan panik. Ia merasa sangat tertekan karena sejak kemarin sore, pelatihnya terus memaksa anak-anak itu harus menang jika mereka mau lanjut ke pertandingan state.

Tetapi sebelum maju ke pertandingan state, mereka harus mengalahkan 2 sekolah di kota mereka dan beberapa tim di kota-kota terdekat. Sedangkan tim yang akan bertanding dengan mereka malam ini, terkenal kehebatannya sehingga membuat Sean gugup.

Pelatihnya bermaksud untuk memberikan motivasi bahwa jika mereka bisa menang di pertandingan state, maka itu akan membantu mereka untuk masuk ke universitas yang bagus melalui jalur prestasi atlet. Namun sayangnya, hal tersebut membuat Sean semakin gemetar.

Sean sangat berharap dapat masuk ke universitas yang bagus melalui jalur prestasi atlet ini, karena kalau tidak ia tidak bisa kuliah. Teman-teman tim football Sean menjadi panik karena kapten mereka hilang. Pemuda itu tengah pergi ke lantai atas untuk menenangkan dirinya dari serangan panik tersebut.

Sean tahu tahu bahwa sebaiknya ia menjauhi kerumunan supaya merasa lebih tenang. Jika ia berada diantara kerumunan yang tengah panik juga, Sean akan semakin parah.

Sementara itu, Fiona sedang duduk di bangku tribun bersama ratusan orang lainnya. Mereka sama-sama menunggu kapan pertandingan ini dimulai.

"Leo, aku harus ke toilet. tolong jaga bangku untukku." Kata Fiona yang izin pergi ke toilet. Meskipun Leonard mengumpat beberapa kata kasar, gadis itu tetap berjalan meninggalkan tempat itu sambil membawa tas selempangnya. Sejujurnya hatinya sakit ketika pemuda itu memakinya di depan orang banyak seperti tadi.

Ketika ia masuk ke gedung sekolah di lantai dasar, ia menyadari ternyata di sana penuh orang. Gadis itu sudah tahu bahwa kamar mandi perempuan akan sangat ramai. Jadi Fiona memutuskan untuk naik ke lantai atas seraya menghindari keramaian dan menunggu giliran toilet, karena ia malas mengantre.

Ketika Fiona merasa bahwa lantai ini sudah cukup tinggi dan sudah tidak ada orang lagi di tempat itu, Fiona hendak berjalan menuju pintu toilet. Fiona membuka pintu kamar mandi itu, namun ketika didorongnya ada sesuatu yang menahan benda itu untuk terbuka dan ia mendengar seseorang mengerang keras.

Fiona membelalak ketika pintu itu dibanting terbuka dan ia menemukan seseorang bertubuh tinggi serta berbadan kekar berdiri di depannya. Gadis itu dapat melihat otot bisepnya yang tidak tertutup baju football.

"Kamu gila ya?" Tanya pemuda itu dengan nadanya yang penuh amarah. Meskipun ia masih mengenakan helm footballnya ketika memaki Fiona, ia tahu bahwa itu adalah Sean Mitchell.

Baru saja mama dan Jacob membicarakan betapa ramah dan baiknya orang ini. Tapi lihat saja sekarang, penuh dengan keangkuhan dan berpikir bahwa dirinyalah yang terbaik. Pikir Fiona nyinyir.

"Tidak. Ini kamar mandi perempuan." Jawab Fiona terdengar santai sambil menunjuk tanda yang tertera pada pintunya. Sean menoleh ke arah tanda pintu tepat di sebelah wajahnya dan menyadari bahwa gadis itu benar, ia masuk ke kamar mandi perempuan.

Mungkin karena tadi Sean merasa terlalu panik, maka ia salah masuk kamar mandi. Jantung pemuda itu seperti hendak copot ketika mendengar riuh rendah suara sorakan di luar. Kepalanya kembali terasa pusing dan ia merasa sulit bernapas.

Pemuda itu bahkan tidak repot untuk meminta maaf karena telah membentak Fiona padahal dirinya lah yang bersalah. Sean justru mengumpat marah sambil berjalan meninggalkan gadis itu. Fiona hanya menggelengkan kepalanya sambil memandang Sean yang berjalan pergi.

Tapi pemuda itu seperti linglung dan hendak jatuh. Diluar keinginannya, bibir Fiona mengeluarkan kalimat, "Apakah kamu baik-baik saja?"

"Apa pedulimu?!" Bentak Sean tanpa dapat ditahannya. Setidaknya berteriak dapat membuatnya merasa lebih lega. Berteriak membantunya melepaskan sedikit stresnya. Tapi Fiona memandangnya bingung, ia sama sekali tidak bersalah dan tidak pantas dibentak-bentak seperti itu.

Fiona tadi baru saja berpikir bahwa Sean tidak mungkin melakukan apa yang dilakukan Leonard kepadanya. Tapi sekarang Sean membuktikan pikiran Fiona salah. Sean sama sekali tidak seperti sahabat kecilnya dulu, ia telah berubah menjadi seorang pemuda populer yang kasar.

"Kamu tahu apa? Lupakan saja bahwa aku pernah peduli padamu." Kata Fiona lalu mendorong pintu kamar mandi perempuan itu. Ketika mendengar perkataan gadis itu, hati Sean terhenyak karena ia memikirkan masa kecil mereka yang selalu bersama.

Ketika tidak ada seorangpun yang mau berteman dengan Sean, Fiona mau. Gadis itu bahkan mengizinkannya untuk makan siang dan menginap di rumahnya, Fiona juga berkata bahwa ia sangat menyukai film The Lord of The Rings dan Harry Potter karena Sean menyukainya.

Gadis itu berbohong bahwa gadis itu hanya menyukai satu Princess Disney, yaitu Mulan karena Sean berkata hanya Princes Disney itulah yang bisa ia toleransi. Mereka lebih suka main pesawat kertas dan mobil-mobilan karena Fiona tahu bahwa Sean tidak ada teman bermain.

"Fio." Suaranya terdengar gemetar, namun masih cukup mantap di telinga Fiona. Tidak ada seorangpun yang pernah memanggilnya seperti Sean memanggilnya sekarang. Biasanya orang-orang di sekitar Fiona akan memanggilnya Fi atau Fiona.

Ketika melihat Fiona hanya terdiam di tempat ia berdiri, Sean melepas helmnya dan berjalan ke hadapan gadis itu. Wajahnya terlihat frustrasi ketika memandang Fiona. Ia mengedipkan matanya beberapa kali karena sama sekali lupa bahwa Sean ternyata setampan itu.

"Apakah kamu bersedia untuk menolongku melakukan sesuatu?" Tanya Sean terlihat sangat berharap. Kedua mata birunya terlihat berbinar saat memandang ke arah Fiona. Gadis itu sepertinya tahu bahwa sulit untuk mengatakan tidak kepada pemuda setampan Sean. 

///\\\

Don't forget to vote!⭐️
And give me some comments!❤️
Happy Reading!🌈

Little Note From The Author:
Terima kasih yang sudah bersedia untuk klik cerita ini lagi ya.

Cerita ini telah diperbaharui dan semoga dapat menjadi lebih layak untuk dibaca oleh teman-teman pembaca semuanya ya.

Vote & Commentnya ditunggu ya.

You Belong With MeWhere stories live. Discover now