✧🌷 1. Dia, Bima Sakti

Mulai dari awal
                                    

Aku ingin melihat Sakti, memeriksa keadaannya, dan memastikan apakah yang aku alami mimpi ataukah bukan.

Dan saat tiba di depan pintu, aku masuk begitu saja tanpa mengetuk. Beruntung sekali tidak ada guru. Situasi kelasnya memang hening walaupun tak ada yang mengawasi, benar-benar definisi kelas unggulan. Bukan seperti kelasku, 12 IPA 3 yang selalu heboh di sana-sini.

Semua perhatian aku dapatkan, tapi aku tidak mempedulikannya. Aku melangkah pada cowok yang menelungkupkan wajahnya di tumpukan buku. Aku mengenalinya walaupun yang terlihat hanyalah rambut hitam legamnya yang terlihat fluffy.

"Sakti?" tanganku berhasil mengelus rambut itu, membuat si pemiliknya tersentak dan langsung menegapkan tubuh. Detik berikutnya, aku bisa melihat matanya membulat. Menawan sekali.

"Centauri? Ngapain di sini?" Sakti seperti panik sendiri, kepalanya menoleh ke belakang kemudian padaku, lalu ke belakang lagi, lalu padaku. "Lo mau apa? Quina?" dia berdiri dan berbisik padaku.

Keningku mengerut. Quina? Ah ya. Quina adalah murid beasiswa di kelas ini, sering jadi bahan rundunganku. Sering aku ancam, sering aku siram dengan air kotor dan masih banyak lagi. Tapi sekarang bukan itu urusanku.

"Gue mau lihat lo aja." Aku duduk di mejanya, melipat tangan di depan dada. "Sakti, lo baik-baik aja 'kan? Tangan lo coba gue lihat."

Sakti mengangkat kedua alisnya saat itu juga, menatapku dengan bingung. Namun kemudian dia tetap menjulurkan kedua tangannya padaku.

Aku melihatnya, pergelangan tangan Sakti baik-baik saja, mulus tanpa bekas luka. Itu artinya kejadian yang aku alami hanyalah sebuah mimpi yang aku alami. Akhirnya aku bisa menghela napas dengan lega.

“Ri.”

“Hm?” aku mengangkat pandanganku pada Sakti yang memanggil, dia menatapku serius dan kedua tangannya kali ini menarik rok seragam yang aku kenakan supaya turun menutupi paha.

“Gue ‘kan udah bilang, beli lagi rok baru. Ini kependekan, gak nutupin setengah paha lo. Di sekolah ini banyak nyamuk.” Sakti masih berusaha menarik-narik rok milikku, tapi hasilnya sia-sia saja. Lagipula rok ini memang pendek, tidak bisa diperpanjang lagi.

Mengenai perintahnya, aku ingin menolak karena rok ini sudah nyaman untukku. Tetapi karena teringat dengan wajah Sakti yang berada di mimpiku, terkujur kaku dengan raut wajah menyedihkan, kepalaku mengangguk.

Aku akan menuruti Sakti, selagi dia masih ada di sampingku. Aku harus menjaganya, agar kejadian di mimpi tidak terjadi. Aku takut.

“Nanti pulang sekolah antar gue beli,” ucapku padanya.

Sakti mengangguk, dia berbalik untuk membawa jaket warna putih yang disimpan di sandaran kursi lantas mengikatkan lengan jaket itu pada pingganggku.

“Pake sampai pulang sekolah, awas kalau dilepas.”

Aku tersenyum tipis, ternyata aku baru menyadari jika Sakti orangnya seperhatian ini. Dia bahkan rela memberikan jaket putih kesayangannya yang selalu dia jaga agar tidak terkena noda sedikitpun. Aku akui, Sakti sahabat terbaikku.

Aku masih duduk di mejanya, melipat tangan di depan dada begitu Sakti memperhatikan wajahku. Keningnya lagi-lagi mengerut, seperti tidak suka saat pandangannya fokus pada bibirku.

Kali ini gelagat Sakti seperti sedang mencari sesuatu, namun dia tak menemukannya, secara mendadak dia mendekat padaku. Hal di luar perkiraanku terjadi, ibu jarinya bergerak menempel pada bibir bagian bawahku dan mengusapnya sedikit keras.

“Ri, gue gak mau guru BK lihat ini. Lo gak inget dua hari lalu dijemur di lapangan cuman karena pewarna bibir, hm?”

Aku mengerjap. Liptint yang aku kenakan memang berwarna merah agak cerah agar aku tidak terlihat pucat. Lagipula aku sudah biasa berdandan ke sekolah setelahnya dihukum guru. SMA Gemilang memang milik kakekku, tapi mereka tidak akan memberikan toleransi pada murid yang melanggar peraturan, termasuk aku. Tapi aku tetaplah aku, akan bebal, akan tetap pada pendirian yang aku inginkan.

“Gue beli tisu dulu, deh.” Sakti bergumam, dia terlihat cemas melihat bibirku.

Sepertinya bukannya membaik, tapi yang Sakti lakukan malah mengacau. Aku tahu, liptint di bibirku pasti berantakan karenanya. Aku hanya terkekeh saja, menarik kedua pundak Sakti yang hendak pergi.

Ini masih di kelas, perhatian yang aku dapatkan tidaklah sedikit, tapi aku peduli apa? Kedua tanganku menarik kepala Sakti, mendekatkan pipinya padaku lantas aku mengusapkan bibirku pada permukaan pipinya. Sakti ingin menghapus liptint merah ini ‘kan? Jadi, aku korbankan saja pipinya agar tercoret noda liptint. Bibirku terus bersentuhan dengan pipi cowok itu sampai aku rasa cukup.

“Udah bersih kayaknya.” Aku bergumam, segera turun dari meja dan melangkah menuju pintu. “Thanks to you, Sakti!” ucapku dan keluar dari sana, meninggalkan Sakti yang mematung dan beberapa bisikan yang terjadi karenaku.

🌙 🌷 ☁️

“Ri! Dari mana aja lo? Gue pikir lo gak akan masuk sekolah.”

Suara Erina langsung terdengar saat aku baru saja mendudukkan diri di kursi, tepat di kelas 12 IPA 3. Tidak ada guru yang mengajar, jadi sata aku masuk ke kelas, aku tidak terkena siraman rohani atau mendapat hukuman mengangkat kursi setengah jam.

“Untungnya ya, guru pada rapat semua.” Joana menambahkan, cewek tomboy itu melipat tangannya di atas mejaku dan menumpukan dagunya di sana.

Erina dan Joana sahabat baikku, maksudku, sahabat baik untuk membully. Kami bertiga sudah dikenal bad girl, bad attitude, dan sebagainya. Tapi tidak dengan penampilan. Kami sempurna, begitu yang banyak dibicarakan murid-murid di sini.

Pundakku mengedik. “Gue dari kelas Sakti, mau lihat dia aja,” jawabku kemudian tanganku bergerak mencari sesuatu di dalam tas.

Sejujurnya, tas merah mudaku yang dibelikan Mami dari Paris ini hanya berisi makeup. Buku hanya satu, begitupun pensil, pulpen, dan hal lain. Aku malas membawanya, lebih baik membawa cermin yang berukuran sama dengan buku tulis. Seperti cermin yang aku keluarkan saat ini, aku menaruhnya di meja.

Setelahnya, aku membawa micellar water juga kapas. Aku ingin membersihkan liptint tadi seperti apa yang Sakti katakan. Lalu, aku juga menyadari jika aku menggunakan full makeup. Ya ampun, apa Sakti tidak muak melihat wajahku ini? Pantas saja dia menatapku lekat, sepertinya dia ingin mengatakan makeup yang aku kenakan berlebihan, tetapi dia tidak mau menyinggungku.

“Eh, eh, eh! Ngapain dihapus?” Erina terkejut, pastinya. Cewek dengan rambut diikat satu itu menatapku dengan kedua mata membola sempurna. “Lo mau makeup ulang?”

“Nggak, ini ketebelan,” jawabku.

“Hah?!” kali ini, Erina dan Joana memekik bersama.

“Tumben banget, Ri?!” Joana menatapku dari atas sampai bawah, berulang-ulang kemudian menempelkan punggung tangannya di keningku. “Lo sakit?”

Mana mungkin aku sakit, kepalaku langsung menggeleng. Aku memperhatikan ekspresi kebingungan dari dua sahabatku itu. Wajar saja. Selama ini aku selalu berusaha berpenampilan menarik, dan paling menonjol, makanya makeup kujadikan solusi. Semua yang ada di sini akan mengenalku sebagai ratu makeup, bahkan gurupun begitu. Dengan melihatku menghapusnya, sudah pasti ini adalah sebuah kejutan besar.

Aku memang tidak percaya diri tanpa makeup, tapi aku lebih tidak percaya diri lagi jika Sakti menatapku seperti tadi, seolah-olah makeup yang aku kenakan ini adalah beban berat untuknya.

Kali ini, aku benar-benar akan melakukan apa yang Sakti katakan padaku, sebelum aku menyesal seperti apa yang aku alami dalam mimpi. Aku serius, untuk Bima Sakti Regaskara.

🌷..

Gimana sama chapter ini? Tertarik belum? Coba baca chapter berikutnya!!🤍

I Want to Cherish YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang