10

19 10 1
                                    

🎼

Pintu kayu dibuka lebar-lebar, seorang gadis menyeret tungkai dan menjatuhkan tas sembarangan. Baru setelahnya, ia menghempaskan badan ke atas ranjang.

Tubuh ramping itu terasa pegal juga lelah. Seharian belajar di sekolah terkadang membuat Hara harus menguras energi lebih. Terlebih kegiatan ekskul dan beberapa tugas yang memang harus diurus. Dari pada itu, jauh lebih capek jika berurusan dengan batinnya yang dilema.

Sambil telungkup, Hara membenamkan wajah pada sprei bercorak oranye. Sekelabat ingatan mendera pikirannya. Kejadian pagi tadi jadi memperparah kesan aneh Hara pada siswa itu.

"Dia temen gue."

"Gue peduli."

Omongan itu terus terngiang dalam kepalanya. Hara tidak mau dengar, tetapi tetap saja menyeruak tanpa ampun hingga membuatnya pusing sendiri. Bagaimanapun ia keras kepala. Hara punya sisi lemah sebagai manusia dan gadis remaja. Padahal, ia mati-matian menjaga hati tetap teguh, tak terperdaya dengan mudah atas apa pun yang menggoyahkan prinsip hidupnya.

Kini Hara membalik badan hingga terlentang. Kedua iris gelapnya menatap langit-langit kamar pada lampu yang tergantung dan tampak usang. Kemudian, ia menyapu pandangan ke segala arah di ruangan tersebut. Tidak ada hiasan mewah di dinding kamar, kecuali cat putih polos.

Ia hampir lupa bahwa sekarang hidupnya kere. Namun, Hara bukanlah anak manja yang merengek pada orang tuanya untuk pindah atau meminta sesuatu yang memberatkan. Ia cukup pengertian menghadapi krisis yang melanda keluarganya. Bukankah roda selalu berputar?

Apa yang cowok itu pikirkan? Apa setelah melihat keadaanku yang sebenarnya, dia masih mau
berteman?

Ah aku kenapa sih?

Jiwa Hara seakan meronta dan ingin mandapatkan satu saja seseorang untuk mengisi relungnya yang gersang. Tidak bisa dipungkiri kalau ia memang butuh teman. Sayang, Hara masih meragu untuk memulai kembali sebuah jalinan pertemanan. Tak terkecuali bersama Gazy dan siapa pun.

Kegagalan persahabatan dengan Lana menjadikan pintu hati Hara tertutup. Ia pikir menjalani hari-hari tanpa teman adalah pilihan terbaik. Nyatanya, ia jadi kesepian. Hara meneguk ludah kasar tentang perkataan yang lolos dari bibirnya tadi. Lagi-lagi berkaitan dengan Gazy yang seolah sosok itu selalu berada di dekatnya.

"Aku nggak butuh teman. Aku bahagia sendiri. jadi jangan sok akrab denganku."

"Bohong. Aku nggak peduli. Mau kamu marah atau membenciku juga, aku bakal terus mendekatimu. Demi ...."

Bocah gila!

Hara mendesah, baru akan memejamkan mata. Ingin melupakan rentetan kejadian tersebut. Namun, seseorang yang dari tadi berdiri di ambang pintu membuatnya tersentak. Ia langsung bangun dan terduduk di atas tilam.

"Mama? Dari kapan di situ?"

"Dari tadi. Pas kamu ngomong sendiri."

"Aish," keluh Hara merasa malu karena diperhatikan demikian. Lantas mama mendekat dan ikut duduk di samping Hara.

"Gimana sekolahmu, Nak?" tanya mama seraya mengelus kepala Hara. Tangannya yang lembut menjamah beberapa anak rambut menjuntai di kening anak semata wayangnya.

"Baik, Ma. Nggak ada masalah," jujur Hara sambil menampilkan cengiran lebar.

"Bagus kalo gitu. Terus tadi kamu kenapa?"

"Hmm, apa?" Hara berusaha mengelak. Sebenarnya ia malas membahas masalah sepele. Jadi, ia bersikap seolah semua baik-baik saja. Bukan mama namanya kalau tidak menyerah untuk kepo dan mengorek kebenaran yang tersembunyi.

Rasa Kedua#TeenficProject✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang