6

23 11 2
                                    

🎼

Alam cepat berubah ketika dalam masa pancaroba. Tadi langit begitu cerah. Namun, tiba-tiba berganti dengan gumpalan awan gelap yang menggantung di atas sana. Perlahan bersama bunyi bel sekolah, hujan meyapu bumi dengan rintik hujan.

Di balik jendela kelas, seorang siswi mendengkus meratapi rinai yang turun. Pandangannya memburam akibat kaca diterpa ribuan titik air. Padahal ia cuma mengulur sedikit waktu untuk menyelesaikan tugas terakhirnya, fisika. Sayang, kelemotan Hara dalam berhitung justru mengantarkan pada penyesalan. Sebab, ia jadi harus terjebak bersama gadis Dora di ruangan itu.

Tidak ada yang lebih buruk, dari pada berada dengan orang yang kita hindari!

Apa boleh dikata, sudah terjadi dan terpaksa ia harus menahan diri. Menunggu hujan reda untuk beberapa waktu ke depan. Semoga saja keputusan yang dipilihnya benar, atau malah sesat karena enggan menerobos hujan.

Hara semakin tak betah di sana karena hanya dirinya, dan Alula saja yang mendiami ruang kelas. Murid-murid lain lebih dulu pulang dan entah ke mana. Hara tak tahu pasti, yang jelas hanya ada dua makhluk di tempat tersebut. Takdir seperti mengikat keduanya untuk saling mengenal lebih jauh.

Suara hujan tidak lagi terdengar merdu atau mendamaikan. Justru beradu dengan nada sumbang yang lebih mirip ringikan kuda, lantaran ketukan tuts pianika menggema ke penjuru ruangan. Termasuk menyusup ke gendang telinga Hara. Ia tetap mengabaikan irama tersebut sambil menopang dagu, menatap lelah pemandangan di luar jendela.

Salah satu telunjuk Hara bergerak-gerak di atas meja. Larut tanpa sadar mengingat tangga nada dari buku panduan musik. Ia menggali sisa ingatan berlatih hari kemarin. Namun, gerakannya terhenti kala bunyi sumbang itu semakin santer terdengar oleh indranya. Sesekali berhenti, lalu kembali mengalun hampa dan menguap ke langit-langit atap.

Hara melirik sebentar. Tau-tau sudah ditatap antusias oleh Alula dengan tampang semringah. Buru-buru ia menoleh ke arah lain. Bisa gawat jika kegiatan itu dilanjutkan. Ternyata dari tadi cewek tersebut memperhatikannya.

"Ra, ayolah sekali aja ajari aku."

Bergeming. Hara enggan menjawab. Demi apa pun, kenapa ia sampai harus dipertemukan dengan gadis ini?

Cewek bernetra tajam itu mendesah panjang. Membiarkan Alula berceloteh. Memang sebaiknya diam saja, tahan beberapa waktu lagi. Mungkin, hujan akan segera sirna.

Tunggu .... gimana kalo makin deres?

Benar saja. Langit biru terganti dengan balutan awan pekat yang memenuhi cakrawala. Warna putih dominasi gelap menjadikan cuaca terlihat makin mendung. Sepertinya keadaan di luar tak mudah kembali normal.

"Aku pengen pamer sama Wika. Biar dia tau, kalo aku juga berbakat."

"Dia itu ngeremehin aku. Padahal ini nggak mudah. Tapi Wika tetep nggak ngerti juga."

"Kamu bakal boleh main sama aku, kalo punya bakat," lanjut Alula memeragakan petuah temannya yang bernama Wika. "Dasar jahat."

"Gimana bagian ini, kenapa rasanya ada yang salah. Tunggu ... aku tadi sampe mana?"

Alula bermonolog menyorot pada buku panduan. Dia belum mau menyerah, dan terus berusaha. Tentu sesekali merayu Hara lagi, supaya membantunya.

"Ra," panggil Alula dari meja belakang, "apa ini bener?" tanyanya kemudian menekan beberapa
lirik, demi menciptakan sebuah lagu.

"Salah."

"Woho! Hebat. Kamu udah hapal aja kunci nadanya," seru Alula merespon cepat kata yang sebenarnya keceplosan bagi Hara. Gadis itu bahkan sampai mengerjapkan mata dua kali.

Rasa Kedua#TeenficProject✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang