8

15 10 1
                                    

“Kamu nggak percaya?”

“Hmm.”

“Aku nggak bohong, Zy. Gimana mau tetep pergi 'kan?”

Gazy melirik sesaat seraya menyugar rambutnya. Ia bukan tidak percaya, hanya saja masih ragu. Apa gadis di depannya ini bisa diandalkan. Jangan sampai kedatangan cewek bersurai pendek itu malah mengundang masalah nanti. Gazy ingin memberi yang terbaik. Namun, apa boleh dikata saat usahanya belum membuahkan hasil. Mungkin, tidak ada salahnya mencoba planning b.

“Tenang aja. Bakal aku tunjukin bakat terbaikku. Biar nggak sia-sia udah latihan bareng Hara,” Alula berusaha meyakinkan Gazy sambil menepuk bahunya.

Seminggu full selepas pulang sekolah, Alula bersama Hara sering berlatih pianika selama setengah jam, atau sejam lebih sedikit. Susah payah dia merengek supaya Hara mau mengajarinya. Walaupun, cewek itu sering melayangkan cibiran. Namun, Alula cukup senang saat Hara menyerah dan memilih kalah untuk mengajarinya.

Alula tahu, kalau yang dilakukan Hara hanya sekadar perintah pelatihnya dalam ekskul drumband. Sekali lagi, dia tidak peduli, asal kemampuannya semakin terasah.

Cewek Dora itu sedikit pamer dan membanggakan diri, demi sebuah pujian yang tidak dia dapat.

“Kemaren Wika aja sampe nggak bisa berkata-kata.”

“Kenapa? Apa saking bagusnya atau ….”

“Ii-ya dong, huh,” sahut Alula cepat. Dia tidak ingin mengatakan kalau Wika kabur duluan ketika Alula setengah jalan memainkan alat musiknya. Wika selalu kabur.

“Terus.”

“Apanya? Ya gitu pokoknya,” jawab Alula sekenanya. Buru-buru dia mengganti topik. “Kemaren ke mana kamu sampe bolos sekolah? Aku jadi penasaran tau.”

Cowok itu bergeming. Masih menatap iris Alula dalam. Baru sedetik kemudian, ia menurunkan kakinya dari bangku taman sambil berucap, “Nanti aku kasih tau jelasnya. Kayaknya dia bakalan terkejut liat kamu.”

“Hah, siapa? Kamu makin aneh deh,” sindir gadis itu mengeryitkan dahi. Namun, tak ditanggapi lagi oleh Gazy.

“Ikut aja sepulang sekolah.”

^0^

Di sudut gedung, tanpa sengaja Hara menghentikan langkah jenjangnya. Di balik tanaman pagar di dinding sekolah, ia terus memantau dua insan dari kejauhan. Keduanya tampak begitu dekat. Bisa terbilang akrab untuk sebuah pertemanan. Samar dan tipis, Hara tersenyum kecut.

Teman?

Lumayan aman jarak di mana ia berada. Entah mengapa Hara merasa harus segera mengutarakan terima kasih pada cowok itu. Ia tidak ingin terus terpikir, apalagi berhutang budi pada Gazy.

Perihal kejadian kemarin, rasanya jahat sekali untuk bersikap acuh. Seolah ia makhluk tak tau diri. Mungkin, sedikit untaian kata cukup untuk menjadi balasan yang sepadan.

Setelah menunggu lumayan lama sampai bel istirahat berbunyi, keduanya berpisah ke arah berlawanan. Alula ke kamar mandi, sementara Gazy berlalu meinggalkan taman. Barulah saat itu Hara berani mendekati siswa tersebut.

“Gazy.”

Dia menoleh dengan satu alis mata terangkat. “Wow! Kamu hapal namaku?” tanyanya terlihat keheranan.

Apa kepalanya baru saja terbentur aspal?

“Apa aneh karna aku ingat namamu? Kita ada di kelas yang sama. Tentu saja aku tau, apalagi namamu terkenal buruk.”

Gazy tergelak, sederet gigi putihnya tampak rapi. Baru kali ini Hara melihat anak itu tersenyum. Selama beberapa kali bertemu, dia terlihat seram. Codet di sudut bibir Gazy semakin jelas terlihat kala melihat dari dekat.

“Aku nggak nyangka, kamu bicara padaku. Padahal terakhir kali bertemu pun, kamu selalu menjauh.”

“Ya, itu tidak penting. Ada yang harus aku katakan,” lirih Hara seraya menggaruk pelipis yang tak gatal. Bisa berabe kalau berlama-lama dengannya. Maka, ia ingin segera mengakhiri obrolan tersebut.
 
“Apa?”

Guratan senyum sirna di wajahnya. Dia merubah muka serius. Kedua tangan disusupkan  dalam saku celana. Kini mereka saling berhadapan secara sempurna.

Rasanya atmosfer di sekitar Hara berubah. Kicep, tiga detik menyita perhatian Hara kala surai hitam Gazy diterpa angin sepoi-sepoi. Ia jadi menikmati gemerisik dedaunan di siang bolong. Bukan hawa panas atau terbakar, justru sebaliknya sejuk. Seolah ada sesuatu yang menjalar menyusuri aliran dalam darah, juga detak jantung di dadanya.

“Hei, malah bengong.”

Gazy menjentikkan jari tengah dan jempol hingga menyentak Hara akibat suara yang dihasilkan.

Sorry,” ujarnya kembali menguasai diri, “kemarin … aku, makasih buat buku itu.”

Meski cara penyampaian Hara tidak jelas atau ambigu. Gazy paham akan maksud yang cewek itu utarakan. Dia menyunggingkan sudut bibir sambil berucap pelan, “Nggak masalah. Tapi sebaiknya aku dapat imbalan bukan?”

“Kk-kamu!? Menipuku?”
Sontak Hara terbelalak sambil mengarahkan jari telunjuknya pada Gazy. Sementara, siswa tersebut semakin melebarkan senyuman.

“Aku nggak minta banyak. Satu kali aja ikut aku ke suatu tempat.”

“Nggak mau. Siapa yang bakal menjamin kamu anak baik.”

Hara tetap menolak permintaan Gazy. Sungguh, lelaki itu belum mau menyerah setelah sekian lama. Hara pun sama, tetap kukuh supaya tidak terpedaya.

Kemudian, Hara beranjak dari taman. Meninggalkan Gazy dengan pengharapan yang menguap di telan angin.

^0^

“Kan aku tadi nanya beneran, La.”

“Ya, maap. Aku kira itu udah maksimal. Ternyata masih kurang dan jauh dari ekspektasi,” gerutu Alula lalu menyeruput jus strawberry.

Cewek itu lantas beralih pada melodika di atas meja. Benda berwarna biru laut dengan selang putih dia masukkan dalam wadah.

Dia masih sedikit kecewa ketika lupa nada di beberapa bagian. Hingga penampilannya di depan Kinan menjadi buruk.

“Dia nggak bisa dibohongin walau kondisinya kurang baik.”

“Iya. Aku jadi tau. Lain kali aku akan lebih baik.” Alula mengangguk dengan kedua alis hampir menyatu.

" Udahlah. Nggak usah dipikirin. Kinan juga tau kok."

“Aku bakal membujuk Hara lebih keras lagi. demi kamu.”

“Nggak. Jangan, La,” larang Gazy seraya menggelengkan kepala sebagai tanda untuk berhenti melakukan kesia-siaan. Percuma jika memaksa orang lain, jika dari dirinya sendiri sangat menolak.

“Kenapa? Hayolah, dia pasti ngerti kalo kamu ngomong jujur.”

“Dia udah nolak berkali-kali, La. Sampe aku malu terus ngejar dia. Sekarang benar-benar buruk pasti di matanya.”

“Tidak peduli berapa kali kamu ditolak, kamu nggak boleh berhenti sekarang. Atau nanti kamu nyesel seumur hidupmu,” cecar Alula dengan sorot mata tajam.

Di benaknya ada penyeselan yang tak bisa dia lupakan. Goresan luka kecil yang muncul kepermukaan saat menyibak ingatan. Maka, dia tidak ingin Gazy merasakan hal yang sama.

“Apa perlu aku yang kasih tau semuanya? Gimana, Zy?” tawar Alula berusaha membantu. Namun, langsung dilarang Gazy.

“Biar aku aja yang bicara. Sekali lagi aku akan mengatakan dengan benar.”

“Sip. Tenang, semua bakal baik-baik aja.”

"Iya. Nggak segampang itu, La."

"Tenang. Percaya aja, dia pasti mengerti."

Usapan lembut tangan Alula mendarat di bahu cowok itu. Demi menguatkan hatinya yang tengah rapuh.

Rasa Kedua#TeenficProject✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang