3.

44 19 32
                                    

🎼

“Ini duit jajan kamu.” Mama menyodorkan beberapa lembar uang saku. Namun, Hara hanya melirik sesaat. Lalu beralih menatap mama seraya mendorong pelan tangan tersebut.

“Hara masih ada duit kok, Ma. Udah simpen aja buat Mama.”

“Kamu yakin? Tapi ini …,” tolak mama masih kukuh supaya Hara mau mengambilnya.

“Udah. Hara berangkat dulu nanti telat. Kasih tau papa ya, Hara duluan.” Gadis itu menjabat tangan mama, lantas mengecup punggung tangannya.

“Nggak sekalian bareng aja, biar papa anter kamu?”

“Nggak usah, biar papa istirahat dulu. Aku naik angkot aja, Ma. Dah.”

Pandangan mama mengiringi kepergian Hara pagi itu. Kelebat rasa bersalah kembali menerpa, hingga matanya berkaca. Sekali tarikan napas, mama mengontrol kesenduan yang hampir membawa pada sebuah luka.

Di dalam angkutan umum, Hara melirik sekeliling. Badan rampingnya sedikit terhimpit di antara dua orang penumpang. Seorang wanita baya yang terlihat rapi dengan balutan pakaian kerjanya, di sisi kanan duduk ibu-ibu menenteng penuh sayuran dalam keranjang tas.

Hara sudah tidak lagi kaget. Ia mulai memahami kehidupannya yang merosot jatuh tanpa peringatan. Istana megah keluarganya tak lagi bisa dihuni. Melainkan harus terganti dengan gubuk biasa, dan segala aset mewah mereka pun sirna. Tak luput dari sitaan pihak yang berkuasa, demi sebuah ganti rugi atas kebangkrutan yang melanda.

Bak mimpi, kemarin apapun bisa Hara beli. Tetapi, tidak untuk sekarang. Di mana ia perlu berpikir dulu hanya untuk kesenangan sesaat. Semesta memang kejam! Tetapi ia jadi tahu bagaimana orang di sekitarnya bertingkah.

“Kiri,” pinta Hara supaya sopir angkot menepi ke sisi jalan.

Tanpa perlu berkata lebih panjang, supir itu pun mengerti. Sebuah kode umum yang biasa digunakan oleh penumpang untuk menyetop laju kendaraan. Ketika angkot berhenti, ia segera membayar dan melesat turun.

Jarak sekolah dari simpang jalan itu sekitar seperempat kilo meter. Jadi, ia perlu berjalan kaki lagi supaya sampai di sekolah. Kurang lebih menghabiskan waktu lima menit.

Sebenarnya Hara cukup khawatir berjalan kaki setiap waktu. Bagaimana tidak, ketika bunyi nyaring klakson tak henti-henti memberi peringatan pada pengguna jalan seperti dirinya. Seakan mereka ingin menguasai seluruh jalanan karena mengambil alih trotoar. Apalagi kalau bukan pengaruh kemacetan yang menjadi penyebab utama. Hara berdecak sebal tapi tidak bisa berlaku apapun, melainkan terus menyeret langkah panjang.

Di kota ini adalah pemandangan aneh, jika ada orang yang lebih memilih berjalan kaki. Dari banyaknya murid sekolah, jumlah mereka lebih sedikit. Ketimbang orang-orang yang duduk manis dan diantar sampai depan gerbang. Seolah mereka dipandang berdasarkan level yang berbeda, sampai tak jarang beberapa anak berkomentar menyindir. Seperti sekarang, saat deru mesin kendaraan bercampur dengan klakson yang sengaja dibunyikan kencang dari arah belakang.

“Nggak guna.” Hara mendesis, tidak sudi menoleh. Lagi pula, ia tidak mengganggu jalan mobil tersebut.

“Wah! Hara, sekarang jalan kaki ya?” suara cempreng itu berasal dari sedan kuning menyala yang tiba-tiba berhenti di sampingnya.
“Perlu tumpangan nggak?” siswi lain dari kursi belakang ikut meledek.

Sementara Hara acuh tak acuh, tak berniat meladeni omong kosong tersebut. Ia sangat hapal. Siapa dan bagaimana para perundung itu berulah. Dari ekor mata tajamnya, Hara bisa melihat empat dari tiga anak tertawa bahagia, sedangkan satu siswi memaksakan segurat senyuman kaku.

Tin!

“Kita duluan ya, Ra. Nikmati hidup lo yang menyedihkan. Bye.”

Kemudian SUV putih itu melesat hilang di balik gerbang. Meninggalkan Hara dengan sudut bibir terangkat seraya mengeratkan pegangan pada tali tas miliknya.

^0^

“Kamu tunggu!”

“Anak ini,” gerutu Hara sebal. Dari pagi ia terus dibuntuti oleh dua murid aneh di kelaasnya. Entah apa yang menarik perhatian mereka, hingga mendekati Hara intens.

“Cepet katakan, La,” suruh siswa itu pada cewek berambut pendek. “Aish. Kamu, bisa berhenti sebentar tidak?” imbuh Gazy mempercepat langkah kaki. Sampai memblokade Hara di koridor kelas.

Hara mengeryitkan dahi kala mendapati cowok itu telah berdiri di hadapannya. “Ada apa?”

Tak jauh dari sana ada Alula, berdiri lumayan jauh sambil tertunduk cemas.

“Sini, buruan.” Gazy menarik Alula supaya mendekat, “jelasin yang sebenarnya.”

Ragu dan merasa bersalah. Itulah perasaan Alula yang merebak liar. Baru beberapa hari sekolah, tetapi sudah bermasalah. Bodoh!

Setelah bercerita panjang lebar dengan kata-kata yang sulit dimengerti. Sebab, gadis itu sering menjeda kalimatnya sendiri. Alasannya tidak jelas. Yang pasti raut tegang di wajahnya kentara terlihat. Bahkan Gazy beberapa kali perlu menjelaskan lagi maksud yang diutarakan Alula, demi meyakinkan Hara.

“Jadi seperti itu. Sorry, sebelumnya. Aku sudah menuduhmu,” terang Gazy setelah Alula selesai bicara.

Gazy menunggu jawaban dari Hara yang belum juga bersuara. Sepasang mata mereka bertemu. Hara yang masih diam membuat Gazy kikuk. Cowok itu merasa ada yang menjalar dalam dirinya. Namun, dia tidak tahu itu apa.

“Sudah?” tanya Hara terlihat cuek bebek.

“Iya.” Gazy menyahut ragu. Sementara Alula hanya menganggukkan kepala.

“Lupakan kejadian lalu. Anggap saja tidak pernah terjadi.”

“Kenapa begitu? Apa kamu marah?”

“Berisik. Bukan urusanmu. Dari awal aku memang tidak bersalah. Kamu harusnya malu,” tunjuk Hara menggunakan jari telunjuknya mengarah pada Gazy.

Telak. Kata itu benar. Memang sejak awal Gazy tak seharusnya menyalahkan gadis itu. Terlebih tanpa ada bukti, hanya bermodal kecurigaan. Kali ini lelaki itu tak bisa bersembunyi dan membela diri. Jadi dia diam saja seraya merutuki diri.

“Iya, itu aku makannya minta maaf sekarang.”

“Cih.” Hara meremehkan.

“Aa-ku juga minta maaf,” celetuk Alula, “gara-gara kecerobohanku. Kamu jadi yang disalahkan. Aku benar-benar minta maaf. Bagaimana kalau aku traktir makan?”

“Heh. Yang benar saja.” Gazy berkomentar pada Alula. Itu seperti kamu siap menjadi budaknya?

Manik bulat Hara menyorot Alula, lalu beralih ke Gazy, “Tidak perlu. Anggap saja semuanya tidak pernah terjadi. Lupakan kejadian tempo hari.”

“Itu artinya kamu memaafkan kami?” tanya Alula sekali lagi.

“Iya-iya. Minggirlah, sudah selesai bukan?”

Kemudian Hara melengang menyusuri koridor menuju kantin. Sedang Alula manggut-manggut mengerti, melihat kepergian Hara. Perasaan lega merebak dalam dadanya. Malah cewek berponi rata itu melemparkan senyum terbaiknya, merasa puas seolah beban berat telah terangkat. “Kalau begitu aku pergi dulu, Gaz.” Alula pamit pergi begitu saja.

Katakan yang dilakukannya sekarang adalah normal. Gazy rupanya diam-diam mengekori Hara ke kantin. Dia sengaja mengamati dari jauh seraya menimang sekelebat ide nyeleneh. Meski tidak yakin, pada akhirnya dia membeli benda tersebut.

Aku ngapain sih? Ah, tapi udah terlanjur.

Dia menepis kata mundur. Berusaha bersikap biasa, siswa berambut acak-acakan itu melangkah mendekati meja di sudut kantin. Niatnya ingin memberi, tetapi malah terkesan absurd seperti pemalak sejati.

“Buat kamu.”

Sekotak pocky rasa cokelat mendarat di atas meja. Hara yang tengah duduk di sana terkesiap. Lalu mendongakkan kepala, guna melihat siswa di depannya. Matanya menatap lurus pada netra kecokelatan itu.

“Ha?”

1 Mei 2020🍉

Rasa Kedua#TeenficProject✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang