9

17 10 3
                                    

🎼

Tidak pernah ada dugaan sekalipun pagi ini, bahwa ia akan dihadang oleh orang yang paling tak ingin ditemui. Hawa mendadak panas seakan suhu bumi meningkat drastis. Semilir angin berubah arah.

Harusnya Hara tahu kalau badai bisa datang kapan saja. Ia tak perlu terkejut untuk menghadapinya.

Mimik datar Hara tetap terpampang seperti semula. Langkah yang sempat terhenti, kemudian ia lanjutkan lagi. Dengan jemari mengerat pada tali tas yang tergantung, Hara menatap lurus rumput basah di depannya.

Ada seorang siswi bergerak mengikuti Hara. Jelas ketika keduanya berpapasan, tidak terjadi kontak apa pun. Kecuali sengatan yang terasa mengejut degup jantung. Perih juga menusuk tepat di ulu hati.

"Ra ...."

Suara tersebut menggema bersama gelembung tanya di kepala Hara. Refleks tungkai Hara terhenti, seolah menancap bagai paku di tempatnya berdiri.

Ini yang tidak Hara suka ketika perasaannya berhasil mengambil alih kesadaran. Berapa pun kesakitan ia terima, nyatanya cewek itu tak pernah bebas menjauh. Selalu ada sedikit luka yang menganga kala mengukir kata.

"Hara, kita perlu bicara."

Mendesah berat, Hara tetap membelakangi siswi itu. "Kupikir udah jelas semuanya."

"Nggak," sahut Lana menatap punggung Hara nanar, "aaku in--"

Hara memotong pembicaraan, "Kamu lagi drama apalagi?"

Meski suaranya lirih, Lana masih bisa mendengar dengan baik. Padahal Hara sangat tidak berselera melanjutkan obrolan yang terlanjur basi.

"Ra, kamu salah paham. Aku bisa jelasin semuanya."

"Ha ha." Hara tergelak nyaring menanggapi Lana. "Kamu lagi ngelawak ya?"

Cewek berparas sendu itu terbelalak menyaksikan tawa Hara. Jelas, dia sadar bahwa amarah lebih pantas diberikan padanya.

"Kita udah bukan siapa-siapa lagi. Jadi berhenti bersikap seolah saling kenal."

"Tapi, apa segitu bencinya kamu sama aku?"

Pertanyaan Lana menyulut api kecil dalam diri Hara. Perlahan bara yang hampir padam, kembali menyala. Ia memutar badan hingga saling berhadapan satu sama lain.

Ditatapnya dua iris sayu Lana yang nampak berkaca-kaca. Dengan rahang mengeras, Hara berucap, "Kamu masih nanya? Biar aku kasih tau sekali lagi. Aku benci juga kecewa sama kamu. Puas!"

Gergeming. Suasana senyap bagai ditelan udara hampa. Lana tak menjawab, sibuk menetralisir perasaannya yang kacau.

Sebenarnya bukan salah Lana secara menyeluruh. Namun, tetap saja cewek itu bukan sigap mendukung Hara saat terpuruk dan dilanda masalah. Malahan dia tutup mata, pura-pura tidak tahu. Lalu, parahnya Lana justru berteman dengan Sora yang notabene musuh sejak sekolah menengah pertama.

Hara masih inget jelas. Kala dirinya dicaci karena status, kedudukan mereka tak lagi sederajat. Akibat keruntuhan bisnis keluarganya yang bangkrut. Lantas berdampak pada pertemanan Lana dan Hara.

Rasa Kedua#TeenficProject✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang