Bagian 19 : Felling✨

71 3 2
                                    

"Ngapain anjir tarik tarik segala." Ucap Devara kebingungan, Panca menarik tangannya sehabis ia keluar dari bilik toilet tadi. Sebenarnya ia terkejut, namun ia menetralkan perasaannya sekarang.

Panca pun hanya diam saat ia menarik Devara tadi, Ia membawa Devara ke taman belakang untuk bicara sebentar. Ia sebenarnya sudah memutuskan sesuatu dikelas tadi. Ia akan bicara sekarang.

Saat sudah tepat di taman,Panca menghadap Devara, kemudian memegang lembut kedua tangan Devara. Devara masih menatap apa yang akan di lakukan Panca kedepannya.

"Gue tau gue toxic, gue kasar, gue ga romantis untuk yang satu ini." Ucap Panca dengan nada bergetar di akhir kalimatnya,lalu ia mengambil nafas, "Lo tau kan gue mau ngapain, gue suka banget sama lo, bahkan sayang. Ra, gue mau lo jadi temen hidup gue, gue bahkan gamau nyebut pacar, karna ikatan itu bisa putus kapan aja. Gue mau selamanya sama lo Ra." Sambung Panca lagi, Devara menganga tak percaya.

Apakah secepat ini?

"Ca," Devara melepaskan tangannya dari genggaman Panca, "Gue ngerasa ini terlalu cepet Ca, gue--"

Panca memotong ucapannya, "Gue ga minta lo jawab sekarang Ara, Lo bisa jawab pas lo udah siap. Gue bakal terus nunggu lo."

Setidaknya Panca lega sekarang, ia sudah memberi tahu perasaannya yang tulus sekarang kepada Devara tanpa harus ia pendam terus-menerus.

Devara tersenyum, ia bisa melihat langsung ketulusan Panca sekarang. Ia ingin menangis, tapi tak bisa. Kenapa takdir harus seperti ini. Ia tidak bisa lari dari masalah sekarang, ia akan memberi tahu Panca nanti.

Panca kembali menggenggam satu tangan Devara dan membawanya untuk kembali ke kelas, "Balik ke kelas yuk, kita bawa santai aja ya."

Devara mengangguk, kenapa Panca sebaik itu. Kenapa Panca tidak menanyakan mengapa ia menolak perasaannya secara halus. Devara tersenyum, membalas genggaman Panca. Ia nyaman dengan tangan ini, semoga bisa seperti ini seterusnya.

•••

"Aelah,jinah aja terus lo bedua. Padahal tadi ada pertunjukan panas." Celetuk Ravi saat Panca dan Devara baru saja memasuki kelas.

Devara menaikan salah satu alisnya bingung, "Apaan?"

"Davin anjir." Tivanka menimpali.

Panca mendekat, bermaksud ingin bergosip--ah ralat, ingin tahu dan sedikit membicarakan. Ia bukannya membenci dengan Davin, tapi ia hanya ingin sedikit mendengar keburukan anak itu, gelagatnya saja sudah mencurigakan.

"Jangan di potong bangsat, langsung aja deh."

Tivanka sedikit mendekat, lalu sedikit melirik anak-anak di kelas. "Lo tau kan Davin udah bolos dari kemarin?"

Mereka berdua serempak mengangguk.

"Tuh orang nekat, dia merokok dibelakang. Kaya orang stress gitu, bawa vodka lagi anjir."

"Nekat pakek banget, menurut gue parah, ye ga?." Tanya Panca menyenggol pelan lengan Devara, sejujurnya, untuk saat ini ia tidak ingin memberi banyak komentar.

"Komentar buruk, dicatat malaikat lo bertiga karena abis nge gibah."

"Eh otaknya kayaknya pindah deh, jadi berubah gini."Tivanka sembari melihat-lihat sekitar kepala Devara. Gadis itu berdecak, tidak ada yang lebih elit gitu meriksanya?

Ravi menggeleng-gelengkan kepalanya, menarik kerah belakang baju Tivanka, "Bersyukur kek temennya tobat, lo mau jadi pengikut dajjal?"

"Devaraaa!" Teriak salah satu teman sekelasnya saat Devara sedang asik-asiknya tertawa, Devara menoleh ke sumber suara, Aydan sedang bersender pada pintu kelas dengan wajah sok coolnya, beberapa siswi hanya melihatnya malas.

"Apaan." Jawab Devara ikut berteriak, ia terlalu malas untuk mendatangi lelaki tersebut.

"Dipanggil kepala sekolah,gatau gue." Ujarnya, membuatnya semakin kebingungan,untuk apa?

Ketiga temannya menatapnya serius, seakan dikelilingi beribu pertanyaan, Devara bangkit dari kursinya dengan malas, sebelum itu ia sempat mengatakan kepada Panca bahwa tidak ada yang di khawatirkan.

Sebenarnya selama perjalanan ke arah ruang kepala sekolah, jantungnya sudah marathon, seakan tahu apa masalah yang akan dihadapi kedepannya. Ia terus meyakinkan dirinya bahwa tidak ada yang harus dikhawatirkan.

Devara dengan perlahan membuka knop pintu ruangan mematikan tersebut, sudah melihat Davin dalam keadaan duduk dan babak belur, ia sedikit terkejut. Beberapa luka di wajah Davin ada yang terlihat baru saja diciptakan, tatapan kepala sekolah yang sudah merah padam. Apa yang terjadi?

"Devara,duduk." Devara mengangguk, duduk tepat di sebelah laki-laki itu. Jantungnya terus berpacu cepat.

Kepala sekolah yang sedang menahan amarah itu, menatap dalam Devara.

"Apa benar kamu sudah melakukan hubungan badan dengan Davin?"

Oh good.


TBC

jangan kasih backsound lagunya rossa yang kaya di indosiar dong, merusak suasana bgt:)

About The Past✓ [Kim Rowoon]Where stories live. Discover now