°• BAGIAN KEDUAPULUHTUJUH •°

296 34 0
                                    

🌷PRINSIP PENULIS : MENULIS MERUPAKAN KEBUTUHAN, SEDANGKAN VOTE DAN KOMEN ADALAH BONUS

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

🌷PRINSIP PENULIS : MENULIS MERUPAKAN KEBUTUHAN, SEDANGKAN VOTE DAN KOMEN ADALAH BONUS. TERIMA KASIH BONUSNYA❤️🌷

"Kadang kita tahu kalau di depan kita sudah kalah, namun yang namanya ambisi itu sudah beda jalan."

-Arshel Sadhewa-

|~•~•~•~•~|

Satu minggu kemudian.

Bintik merah di sekujur tubuhnya yang semakin melimpah. Lelah tanpa sebab dan keringat berlebih setiap malam membuat Zia begitu resah. Tetapi bagaimanapun keadaannya sekarang ia terus berusaha jalani semua dengan bahagia. Akhir-akhir ini dadanya semakin sesak, ia dengan sengaja membotakkan rambut sebelum peristiwa botak tanpa sengaja itu terjadi, yah, jika tahu ketakutan itu berhasil mengelabuhi bisa-bisa Zia semakin pesimis.

Zia memakai Beanie Hat kembali seraya tersenyum memamerkan bibir pucatnya.

"Sakit, nggak?" tanya Arshel dengan nada lirih sekaligus khawatir. Ia perlahan mengusap darah mimisan yang keluar dari lubang hidung Zia dengan hati-hati tanpa menimbulkan ringisan sendikitpun, dan kelihatannya malah Arshel yang terlihat kesakitan sendiri seperti ikut merasakan sakit itu.

"Enggak, sih, biasa aja," balas Zia tersenyum lebar.

"Apa harusnya aku nggak usah sekolah dulu buat temenin kamu di sini?" gumam Arshel masih fokus terhadap darah mimisan itu.

Zia berdecak sebal, kedua alisnya menyatu membentuk kekesalan seketika. "Nggak usah lebay, deh, aku nggak mau jadi beban, ya, Arshel."

"Kamu harus tetap sekolah!" pekik Hera tegas.

"Beban apanya, sih?" tampik Arshel setelah selesai mengusap hidung bawah Zia, pandangannya berhasil mengunci tatap Zia sembari tersenyum tipis. "Aku nggak pernah ngerasain bebannya, tuh."

Zia memutar bola matanya kesal, mengalihkan pandangan menatap jendela rumah sakit sembari bergumam menopang dagu. "Dulu katanya aku disuruh berubah ... berarti selama ini aku udah jadi beban, 'kan?"

Arshel semakin melebarkan senyum kemudian menggeleng lirih. Tangan kanan laki-laki itu meraih tangan penuh bintik merah di depannya ini, mengelusnya hingga terasa hangat.

"Rasanya itu bukan beban, tapi kamu kayak lepas dari tanggung jawab," balas Arshel tak henti memamerkan senyum, dan sontak kalimat itu membuat Zia menoleh pada Arshel sedikit terkejut. "Kamu tahu, kan, tugas kamu itu setia sama aku? Dengan gitu aku juga percaya bisa jaga kamu."

Zia mengangguk-angguk.

"Kamu bahas soal tanggung jawab lagi, ya ..." lirih Zia. "Kalau aku terlanjur nggak bisa apa-apa, emang kamu mau ngelakuin apa?"

Arshel menggidikkan bahu. "Heh, kalau kamu aja nggak bisa apa-apa, apalagi aku?"

"Aaa gitu." Zia mengangguk lemas kemudian menunduk.

A R S H E R AWhere stories live. Discover now