°• PROLOG •°

3.5K 164 16
                                    

3 tahun yang lalu.

"Hera ... Hera ... Hera."

"Gue bilangin sama lo, ya," ucapnya sinis. Gadis tengik dengan seringai licik menampakkan gigi berbehel merah sebab tak rapi. Rambut kuncir dua itu dimainkan sisi kanan ikatannya sembari menyeringai, menghadapi gadis naif di depannya sekarang. "Kita ini ...."

Dua orang di samping kanan-kiri gadis tengik itu serentak melipat kedua tangan di depan dada menunjukkan bahwa 'kita' adalah mereka berdua. Bahkan seringainya tak kalah mengerikan.

" ... sama sekali nggak butuh teman yang bisanya cuma nyusahin dan buat malu," imbuh gadis itu semakin melebarkan seringai. Kedua tangannya kini mendekap pada pundak gadis yang tengah di sindirnya itu. "Gue harap lo sadar, ya?"

"Tapi ... e-emm, apa aku buat masalah lagi?" Gadis naif itu menunduk penuh kekhawatiran. Melihat sorot mata tajam mengerikan di depannya, sama sekali tak ada keberanian yang mau hinggap. "Aku minta maaf ...."

Kedua tangan lentik itu terlepas dari pundak. Masih saja bertanya kenapa, padahal tak usah dijelaskan pun harusnya sadar. Gadis sinis tersebut membuang pandangan, kemudian menghela napas kesal. "Gue muak waktu lo berlagak bego kek gini."

"Emang kita peduli apa? Lo itu bukan orang 'punya' lagi, modal naif doang ngga cukup buat semua orang luluh." Giliran gadis di samping kanan yang berucap. Rambut sebahu dengan semir pirang sebagian, satu anting hitam berbentuk salib tertanam pada telinga kirinya. Lumayan mengerikan, dan sesuai dengan mulutnya yang pedas. Kalimat 'punya' lebih mengarah pada kaya, berada, dipandang tinggi di mata orang, yah, begitulah perspektif mereka.

Gadis naif itu menggeleng segera. Ternyata tentang ini ya? Tentu ia menyadarinya bahkan jauh sebelum diberitahukan.

"Kirain ini nggak akan jadi masalah," jawabnya.

"Nggak masalah emang, tapi jadi bencana besar sekarang, kalau gue biarin lo temenan lagi sama kita ...." Gadis tengik itu menoel kening gadis di depannya dengan keras. "Bisa-bisa gue ikutan susah!"

Gadis malang tersebut menunduk sekejap. Ia masih saja berusaha untuk membuat suatu penjelasan.

"Aku sempat denger kalau semua orang bisa punya temen, bahkan orang aneh pun punya." Gadis naif itu masih saja mengelak. "Kalian juga pernah bilang gitu, kan? Kalian pernah bilang kalau semua orang itu sama."

"Heh, bego! Lo yang aneh!" pekik gadis di samping kiri. Manik matanya menyorot malas.

"Buat apa lo bilang kek gitu ke kita? Nggak bakalan ada yang ngebiarin orang aneh masuk dalam kehidupannya," lirih gadis pemilik mata bulan itu. Ia mulai menyeringai. "Omongan kayak gitu ... paling pantes diucapin kalau lo lagi butuh orang buat dimanfaatin."

"Nggak usah jauh-jauh, deh. Kayak kita ke elo contohnya, hahah lo itu terlalu polos sampai kita manfaatin aja ... bisa-bisanya mau pertahanin," sambungnya. Ia menunjukkan tawa lebar, menertawakan kepahitan gadis tak bersalah itu. Benar-benar menyenangkan, pikirnya. Rambutnya yang dibiarkan terurai panjang, ia kibaskan ke belakang, kali ini bukan seorang gadis jutek seperti yang di samping kanan, dia lumayan cantik dan manis, yah sayangnya begitulah, tak ramah. "Manusia rendahan kek lo ... itu banyak di luaran, gabung aja sana."

"Sekarang lo keluar, bawa pergi fobia aneh lo itu, dan jangan pernah berharap kalau kita akan balik karena kasihan."

***
Masih pada 3 tahun yang lalu.

A R S H E R ATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang