ENAM BELAS : KAWAL SAMPAI HALAL

27 15 12
                                    

The Offering :
"Tidak ada kata lain kali, pokoknya harus sekarang!"

☆ ☆ ☆ ☆ ☆

"Lo tau Verin suka sama lo, kan?" Aku mampir sebentar di rumah Evan, menonton serial Netflix di TV yang sebesar nyaliku bertanya pertanyaan macam begini.

Evan terlihat agak kaget, sedetik kemudian ia mengelap kaca matanya dengan baju. "Hm ... nggak."

Aku berdecak. Tentu Evan tau. Evan tau siapa saja yang menyukainya namun semua itu hal biasa—sangat biasa untuknya.

"Maksud gue, kayak ... siapa yang nggak suka gue? Semua orang suka gue, lo tau, kan?" Sial. Soal ini aku ingin protes, tapi dia benar. "Dari kapan lo suka Verin?"

Ini bodoh, tapi apa aku harus bilang ke Evan? "Nggak tau," balasku. Tanpa sadar aku tersenyum membayangkan tingkah anak itu.

"Kalo lo mau, ambil aja," celetuk Evan. Ia melepas dasi dari kerah bajunya dan melemparnya ke sofa.

Apa yang barusan ia katakan? Dengan mudahnya menyuruhku mengambil anak orang seperti mengambil buah-buahan.

"Masalahnya, dia sukanya sama lo," balasku dengan nada yang tiba-tiba kecewa.

Evan menatapku, terlihat agak kaget namun sedetik kemudian tersenyum. "Bukan salah gue, kan, kalo semua cewek sukanya sama gue?" Ia memeluk bantal berwarna mencolok.

Aku menoyornya. Memang benar, sih. Huh, kenapa ya cewek-cewek bisa naksir model Evan begini?

Evan tersenyum, ia tenggelamkan wajahnya di bantal berwarna hijau terang.

"Itu apa?" tanyaku.

"Huh?" Evan menatapku dengan ekspresi seakan aku berasal dari planet lain. "Ini namanya bantal."

"Tulisannya? Mau baca aja harus ngaji dulu." Kulihat dari sini bantalnya seperti ada bahasa Arab.

"Ini bahasa Thailand, bukan Arab!" Evan tertawa. "Mario Maurer, lo tau kan gue ngefans banget sama dia?"

Aku mengangguk. Itu hal biasa bagi Evan untuk mengoleksi pernak-pernik macam begini, yang tidak biasa adalah di bagian kanan bawah bantal itu ada nama orang lain yang aku tau jelas bukan artis Thailand.

Evan tidak pernah menyimpan pemberian cewek manapun yang ia temui.

=VERINA=

Aku mematung menatap layar ponsel photo profile Mero. Haruskah aku menyapanya? Mengapa jariku gatal sekali? Apa karena kebodohanku kemarin?

"Kak," panggil Vero, kurasa ini sudah ketiga kalinya ia memanggilku. Aku mengangkat wajahku dan menatapnya dengan tatapan ngapain-sih-lu.

Wajahnya terlihat memohon, jangan tanya kelanjutannya apa. Aku dipaksa mengantarnya ke supermarket.

Kami biasanya belanja bulanan bersama keluarga—masih ingat cerita tentang Papaku yang menanyakan anak ke Mas-Mas cleaning?—namun, bulan ini kami kehabisan bahan pokok lebih cepat, mungkin karena tumbuh kembang Vero. Akhirnya, kami harus belanja lagi, namun berdua.

Kebetulan di dekat rumah baru saja buka toko sembako dan sedang promo. Hanya 10 menit dari rumahku. Jiwa Ibu-ibu Mama langsung membara, namun ia harus masak dan menyiapkan makan malam, jadilah tumbal aku dan Vero.

Kita dan SemogaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang