Bagian 22 [Cerita Tentang Semuanya]

20.8K 1.8K 213
                                    

"Tidak perlu iri pada hal duniawi karena semuanya fana dan tidak akan pernah sempurna"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Tidak perlu iri pada hal duniawi karena semuanya fana dan tidak akan pernah sempurna"

_Malaika Farida Najwa_

_Malaika Farida Najwa_

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

~MUN 2~

Nyanyian hujan menjadi backsound yang mendampingi suara degup jantungku yang kian menguat. Nafasku seperti tertahan di ujung tenggorokan, membuatku kesulitan bernafas. Perlahan tanganku memegang wajahnya yang sedikit berair. Laki-laki itu masih setia terlelap dengan posisi yang membuatku sulit bergerak. Tubuhnya bergetar, menandakan mas Fadlan masih kedinginan.

“Mas.” Kutepuk wajahnya perlahan, mencoba membangunkan laki-laki itu. Bukannya bangun, mas Fadlan justru semakin menipiskan jarak diantara kami. Ia memelukku begitu erat dengan bibir yang bergetar karena kedinginan. “Mas harus bangun.” Aku mencoba untuk mendorong tubuhnya, namun mas Fadlan sama sekali tidak bergerak. Kekuatanku tidak cukup untuk mengimbangi berat badannya.

“Tuan Fadlan!” Suara mbok Asrih terdengar. Aku mengucap syukur. Langkah kakinya perlahan mendekat. Kulihat raut wajahnya yang nampak kaget saat sudah berada di depanku.

“Bantu saya bawa mas Fadlan ke kamar ya, mbok.” Aku menatap mbok Asrih yang sedari tadi hanya diam, menatapku dan mas Fadlan bergantian.

“Eh njih, non.” Mbok Asrih segera membantuku mengangkat mas Fadlan, merangkulnya dan membawanya menuju kamar.

“Saya mau minta tolong ambilin selimut di lantai atas ya mbok,” pintaku saat kami baru saja menjatuhkan mas Fadlan di kasur.

Mbok Asrih mengangguk cepat. “Mbok segera ambilkan, non.”

Mbok Asrih berlalu pergi, meninggalkanku dan mas Fadlan dalam keheningan malam bersama suara hujan yang menjadi latar belakangnya. Kueratkan selimut yang menutupi tubuh laki-laki itu. Tatapanku beralih fokus pada kaos kaki mas Fadlan yang masih melekat di kakinya, membuatnya semakin kedinginan. Aku segera melepas keduanya. Namun ada yang aneh saat aku memegang kaki kiri mas Fadlan. Laki-laki itu menggeliat sambil meringis seolah tengah menahan sakit.

Tasbih Hati (MUN 2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang