0.5 - Seandainya

367 257 259
                                    

Kamu potongan tanda tanya yang menjadikan teka-teki dalam wujud nyata

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kamu potongan tanda tanya yang menjadikan teka-teki dalam wujud nyata.

-Perfect Things-

"Hara, apa nggak apa-apa kalo kamu terus-terusan kerja paruh waktu kaya gini?" Iswa menghampiri anak semata wayangnya yang tengah duduk menonton televisi di ruang tamu sederhana yang mereka punya.

Sahara mengalihkan atensinya pada Iswa. Lantas menyandarkan kepalanya pada pundak sang mama dengan manja.

Iswa tersenyum, menepuk kepala Sahara dengan lembut. Hal ini jarang sekali terjadi, mengingat ibu dan anak ini lebih sering cekcok karena hal kecil dibanding terlihat akur seperti ini.

"Ya nggak apa-apa dong, Ma. Hara masih bisa ngatur waktu kok. Lagian persiapan ujian masih beberapa bulan lagi. Bentar lagi juga Sahara liburan." Sahara menegakkan kembali tubuhnya, lantas tersenyum meyakinkan sang mama.

Iswa menghela napas. "Seharusnya, kamu fokus sekolah aja, Hara."

"Hara cuma mau sedikit ngeringanin beban Mama aja, kok. Hara nggak mau Mama nanggung semuanya sendirian. Emangnya nggak boleh ya, Ma?"

Iswa tersenyum sendu menatap putrinya yang sudah beranjak dewasa itu. Rasanya, waktu begitu cepat berlalu. Iswa pikir, dirinya tak akan sanggup membesarkan Sahara seorang diri.

Nyatanya Iswa mampu, meski hidup dalam keterbatasan, Sahara tak pernah mengeluh kesulitan. Gadis itu mampu memahami keadaan, bahkan disaat usianya yang masih terlalu dini untuk mengerti.

Untungnya, Sahara tak pernah banyak bertanya perihal papanya saat dirinya masih belia. Seolah Sahara yang masih kecil pun tahu, menanyakan perihal papa hanya akan membuat mama sedih nantinya.

Sahara selalu menunggu mama bercerita lebih dulu padanya. Tentang Papa. Tentang yang terjadi sesungguhnya. Hingga Sahara menginjak usia remaja, akhirnya mama bersedia bercerita disertai derai air mata. Padahal, Sahara memang sudah memahami dari jauh-jauh hari, bahkan sebelum mama bercerita tentang apa yang sebenarnya terjadi.

Tentang kepergian Papa yang tiba-tiba.

Juga, tentang kesedihan Mama yang tak terhingga.

"Papa ... Pasti bangga sama Hara."

Seandainya saja Papa masih di sini, Sahara hanya ingin tahu bagaimana hangatnya dekapan seorang ayah meski hanya sesaat.

Namun... segalanya hanya angan-angan belaka. Sebab Sahara tahu, bahwa yang sudah pergi tidak akan mungkin kembali lagi.

🌷

Penampakan sang surya mulai menyingsing di cakrawala, menandakan hari telah berganti dan harapan baru telah menanti.

"Huek!" Laki-laki bertelanjang dada yang baru saja keluar dari kamar berjalan dengan langkah gontai menuju wastafel, dia lantas mengeluarkan isi perutnya begitu saja. Hal itu tentu mengejutkan Lintang yang tengah meracik kopi di pantri.

Semenjak kuliah, Lintang memutuskan tinggal terpisah dengan ayah, dan memilih tinggal di perumahan elite yang terletak tak jauh dari kampusnya berada. Sementara ayahnya masih menetap di rumah lama bersama bayang-bayang mendiang istrinya.

Seharusnya, Lintang hanya tinggal sendirian, namun beberapa rekannya seperti Juan, Jef, dan Echan memang sering numpang tidur di rumahnya hingga membuat Lintang tak pernah merasa kesepian. Bahkan rumah ini sudah seperti markas tempat berkumpulnya mereka untuk melepas penat dari sandiwara kehidupan.

"Hamil lo?" celetuk Lintang asal seraya mengaduk kopi.

Jef menyambar gelas kopi di genggaman Lintang, kemudian menyemburkan isinya begitu saja hingga tempias mengenai wajahnya.

"Kampret lo!" Lintang memaki.

"Panas anjir."

Lintang tertawa jemawa. "Mampus!"

Bahkan Juan yang sedang serius mencoret-coret buku sembari meminum susu pun ikut menertawakan nasib apes Jef. Jef kontan saja menggerutu kesal.

"Mana si Jamet? Masih molor?" tanya Lintang pada Jef.

"Jamet?" Dahi Jef berkerut bingung, "Echan maksud lo?"

"Siapa lagi?"

"Lo tuh demen banget ganti nama orang, ya. Iya, masih molor dia."

"Nggak salah dong gue, muka dia emang sebelas dua belas sama jamet."

Jef mendengkus, lantas melirik Juan yang tengah berkutat dengan pensil dan sketchbook. “Hadeh, si Juki, masih pagi udah pacaran sama buku aja.”

"Deadline tugas nih anjir," sahut Juan tanpa berpaling dari buku sketsanya.

"Nasib anak arsi, tiap hari dimabok tugas ye," ejek Jef yang tak digubris lagi oleh Juan.

“Dari pada lo, mabok beneran. Mana masih pagi, udah mual-mual kaya orang bunting,” celetuk Lintang.

“Buntang-bunting, lo kira gue kucing?!” Jef menyahut tidak terima.

Juan sih, tetap kalem membuat sketsa bangunan, seolah tak terusik dengan ocehan makhluk di sekitarnya.

Lintang tertawa lagi. "Tobat kek, Jef. Ajep-ajep mulu tiap malem,” tukasnya.

"Dih, nggak ngaca lo?" Jef menyahut sinis.

Lintang terbahak. "Kenapa lagi sih lo?"

"Nggak tau, mendadak stress mikirin hidup," keluh Jef.

"Perasaan, dari dulu juga lo udah stress deh, Jef."

Jef mendengkus. "Kaya lo, ya?"

Lintang justru tertawa puas tatkala mendapat toyoran dari Jef hingga tubuhnya ikut terhuyung ke depan.

“Eh, lo udah tau belum? Si Sona kan, balik lagi ke Indo,” ujar Jef menggebu-gebu.

Wajah Lintang berubah datar dalam sekejap, dia lantas menjawab, "Bukan urusan gue."

Iya, itu memang bukan urusannya lagi. Tapi ketika namanya disebut, mengapa hatinya masih terasa nyeri?

Dering ponselnya berhasil mengalihkan atensi Lintang, meski hanya sesaat. Dia dibuat tercenung kala membaca serentet kata yang dikirim oleh ayahnya melalui pesan singkat.

Papa : Lintang, Bumi belum pulang dari semalam
Kamu tahu dia ada di mana?

Seolah belum cukup beban yang ia pikul, beban yang lain justru kembali merangkul. Lintang menghela napasnya berat, kepalanya mendadak terasa penat.

Seandainya mama masih di sini, mungkin segalanya tidak akan serumit ini.

-To be continued-

Btw, vote dan komentar kalian sangat menambah semangat aku buat lanjut nulis guys🥰

Perfect Things (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang