58. Dimensi Bersama Bapak

Mulai dari awal
                                    

"Hm. Jangan ceroboh lagi," jawab Ansel.

"Luka kamu gimana?"

"Ga parah."

"Nggak parah apanya, sepuluh jahitan!" celetuk Awe yang tiba-tiba datang.

"Kupik! Elo nggak papa?" Nazo yang berjalan di belakang Awe lantas menghampiri Kuvvi, bukan kembarannya.

"Sorry, Sel, tadi pas lo nelpon, kita lagi di rumah lo. Tenang, nyokap belum tahu," klarifikasi Awe. Tadi Ansel berpesan, kembarannya jangan tahu dulu. Karena posisi Awe dan Ejak sedang menunggu Ansel di rumahnya, jadilah Nazo tahu.

"Nggak papa, Naz, cuma tergores kecil, abang kamu tuh yang parah," jawab Kuvvi.

Kini Nazo menghampiri Ansel. "Gimana, sih, Sel? Kok bisa luka-luka gini?" Ia menabok lengan Ansel cukup kuat.

"Eh, jangan ditabok, Nanaz!" cegah Kuvvi.

"Gue nabok di lengan yang nggak luka, Pik, nggak usah lebay." Nazo kembali menatap Ansel yang duduk di atas ranjangnya, "Disuruh nge-date romantis, malah tragis, luka-luka pula," omelnya lagi.

"Anak mana, Sel?" tanya Awe penasaran.

"Preman," jawab Ansel.

"Iya, preman mana?" tanya Awe lagi.

"Udah diurus polisi kok, Bang," jawab Kuvvi, takut Awe membalas dendam.

"Polisi mana? Biar gue yang urus," sahut Ejak yang baru datang karena menyelesaikan urusan administrasi kedua temannya itu dahulu. Ansel dan Kuvvi tak lupa berterima kasih.

"Weh! Pik! Luka lo di leher? Keren, kayak digigit Mak Lampir."

"Vampir, Ejak, bukan Mak Lampir," balas Kuvvi.

"Kalian pulang aja," usir Ansel membaringkan tubuhnya di atas kasur.

"Apaan pulang?!" Nazo mulai emosi.

"Kami mau istirahat," jawab Ansel datar lalu membaringkan tubuhnya.

"Pulang, Naz! Mereka mau bulan madu." Awe menarik tangan Nazo meninggalkan kedua orang itu, yang disusul Ejak.

Tiba-tiba suara Nazo kembali terdengar. "Pik! Sel! Tantangan kalian gagal!" Lalu ia benar-benar meninggalkan ruangan itu.

Tirai ruangan IGD sepertinya sedang dicuci, terbukti tak ada batas antar ranjang pasien. "An, tidur, ya?" Kuvvi melihat Ansel memejamkan matanya.

Ansel yang tidak tidur, membuka matanya. "Kita nggak sebaiknya pulang aja?" tanya Kuvvi memecahkan keheningan.

"Besok aja."

"Nggak papa, emang?"

"Iya."

"Okelah, bisa nyiapin mental ketemu orang tua besok." Kuvvi menyetujui, ia tidak terbayang apa yang akan mamanya omelkan jika ia pulang dengan luka di leher malam ini.

Seorang perawat masuk ke ruangan, mengintrupsi obrolan mereka. "Maaf, Mbak, Mas, kalian diperbolehkan pulang, administrasi sudah diselesaikan," ucap salah satu perawat kepada mereka berdua sembari membawa berkas.

Kuvvi menatap Ansel memberikan isyarat. "Iya, Mbak, makasih, Mbak," jawab Kuvvi.

"Sama-sama," balas perawat itu lalu pamit.

"An, kita udah diusir. Ayo pulang!"

"Iya."

Setelah bersiap, mereka berjalan keluar dari UGD. Menyusuri lorong rumah sakit yang dilalui banyak orang. Melewati banyak kamar yang berjajar dengan beberapa orang yang menanti di luar.

DIMENSI (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang