14. Dimensi Geregetan

10.4K 1.3K 122
                                    

Baru saja kembali dari kantin, Sunnia, Bella, dan Budi sudah menanyakan Kuvvi banyak hal. "Pik, cerita, dong! Gue penasaran banget!" ujar Sunnia seraya menarik-narik tangan Kuvvi.

"Iya, bentar. Aku minum dulu," Kuvvi mengambil botol tupperware yang ada di dalam tasnya lalu meneguk isinya hingga habis.

"Jadi gini. Tadi kan aku nyariin Aan, pertama-tama ke perpustakaan."

"Ngapain ke perpustakaan? Sejak kapan Ansel hobi ke perpus?" potong Sunnia.

"Dia kan mau nyari ketenangan, kali aja di perpus bisa tidur dengan tenang," Budi memahami maksud Kuvvi yang mencari cowok itu di perpustakaan.

"Nah, sip, Budi! Itu maksud aku. Kali aja dia di sana. Eh, pas di sana, malah nggak ada. Aku mala ketemu sama cewek kembar. Namanya kayak mata pelajaran," lanjut Kuvvi lagi.

"Si Seni sama Ines bukan?" tebak Bella tepat sasaran.

"Betul!"

"Wajar aja lo ketemu mereka, mereka tuh penunggu abadi perpustakaan," Sunnia ikut menambahkan.

"Maksudnya? Mereka bukan hantu, kan?" Kuvvi jadi takut mendengar perkataan Sunnia. Penunggu abadi? Apa tidak ada istilah lain yang tidak menyeramkan?

Bella tertawa keras. "Bukanlah! Maksudnya, mereka tuh anak kutu buku banget. Kalo anak lain nongkrongnya di kantin, mereka malah ke perpustakaan."

"Nah, terus mereka ngasih tahu di mana markas Ansel. Aku dikasih denah sambil dijelasin. Ketemulah markasnya. Tapi, di luar malah ketemu temen-temennya Ansel. Aku diajak main gaplek."

Sunnia keheranan melihat tingkat Kuvvi yang tak ada takut-takutnya. "Lo berani banget! Mereka tuh anak nakal! Lain kali jangan ceroboh!" Cewek itu lantas memarahi Kuvvi.

"Sembarangan, Lo! Enak aja anak nakal! Geng kita bukan kumpulan anak nakal!" ujar Budi tak terima.

"Eh, sorry! Ada anggotanya di sini," ujar Sunnia yang semakin membuat Budi marah.

"Tapi, kata gue mah, mereka bukan anak nakal, Sun. Gue pernah ngelihat mereka ngadain baksos gitu. Terus, isi markasnya juga bukan markas-markas kayak biasanya. Isinya rapi. Ada banyak lukisan dan karya-karya mereka. Emang, sih terkadang ada bau asap rokok, tapi, cuma senin sampai kamis," papar Bella panjan lebar.

"Bener!" ujar Budi, "Tapi, lo tahu dari mana?"

Sunnia menatap Bella curiga," Kayaknya lo hutang cerita sama gue, Bel."

"Terus, Pik. Lanjut cerita!" ujar Bella berusaha mengalihkan topik.

"Pas aku baru main bentar, muncul Ejak, kan, terus, Ejak ikutan main. Nah, pas Ejak udah masuk ke markas, muncul cewek tomboy."

"Si Uya itu pasti," potong Sunnia.

"Iya, Uya! Mbak-mbak gelang tengkorak," sahut Kuvvi.

Sunnia, Bella, dan Budi menunggu lanjutan cerita Kuvvi. "Nah, pas aku mau masuk, malah nggak dibolehin sama Zainal, Lohan, Bambang, sama Abdul. Aku disuruh nunggu sampe Ansel keluar."

"Iya, emang nggak bisa sembarangan orang masuk sana, Pik," ujar Budi menambahi.

"Nah, pas mereka keluar, aku kan manggil Aan. Terus, Mbak Uya itu nanya. Aku siapa? Ya, aku jawab, aku calon gebetannya Aan. Terus dia ngamuk, mau nampar aku."

"Anjir! Lo berani banget!" ujar Sunnia terkaget-kaget.

"Kan bercanda, Sun," jawab Kuvvi santai. Baginya memang itu adalah sebuah bercandaan, tapi bagi, Uya, itu sangat memancing emosinya.

"Terus, gimana?" Sunnia mengecek pipi Kuvvi. "Pipi lo nggak papa? Kok nggak merah?"

"Aku berhasil nangkep tangannya, terus aku pelintir. Tangannya jadi memar, deh."

DIMENSI (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang