Sebuah Tanda Tanya

30 2 0
                                    

Sebelum hari ini tiba, Raka sudah bertemu dengan Nadin dan Laras. Raka mengajak mereka berdua untuk sekadar liburan sejenak dari penatnya dunia—melihat ciptaan Tuhan yang lain—tak kalah cantik dari ciptaan-Nya yang terus membuat Raka memikirkannya.

Respon Laras yang masih terbilang masih anak kecil itu sangat antusias dengan ajakan Raka. Dunia Laras adalah taman bermain baginya. Nadin yang melihat adiknya sangat senang dengan ajakan Raka untuk berlibur, sama sekali tak bisa menolaknya. Karena kebahagiaan adiknya merupakan salah satu kebahagiaannya juga.

"Siapa yang mau ke pantai?" Tanya Raka di dalam mobil dengan nada menggoda.

Tanpa jeda Laras menjawab, "Aku Kak!" Laras memeluk Nadin dari belakang.

Setelah pelukan Laras disudahi, Nadin menundukkan pandangannya sambil tersenyum tipis. Raka yang sadar akan senyum tipis itu melirik Nadin, namun sesekali melihat jalan karena dia sedang menyetir mobil. Mungkin bagi sebagian orang bahagia itu sangat sulit untuk dilakukan. Tapi Raka selalu mendapatkannya dari tawa geli Laras dan senyum tipis dari Nadin. Perpaduan yang mampu menutup luka yang sudah lama menganga.

Sebelum mentari tepat di atas kepala, mereka bertiga sampai di tempat tujuan. Laras yang mellihat deburan ombak dari kejauhan, mulai teriak histeris sebab tak sabar berendam di air. Suasana di pantai kali sangat mendukung. Walau matahari tetap tersenyum gembira, namun angin yang berembus melambai menjadikannya ketenangan.

Nadin duduk di belakang mobil. Mengawasi adiknya yang sedang bermain pasir menggunakan ember dan sekop mainannya.

Raka mendekat membawa tiga botol air mineral dingin, "Nih. Minum dulu," Raka memberikan salah satu botol air mineral.

Nadin mengambilnya. Membuka tutupnya yang sedikit licin lalu meminumnya. "Makasih, ya," Nadin membuka obrolan.

Raka menoleh, "Buat apa?"

"Udah ngajak gue sama Laras liburan,"

Raka diam. Disambung dengan menengadah menatap langit biru, "Dulu gue pernah ketemu sama pemulung tua yang jalannya udah bongkok. Dan dia bilang, bahagia itu bukan masalah materi semata. Bahagia itu harus dari sini," Raka menunjuk salah satu bagian dadanya.

Nadin mengangkat satu alisnya kebingungan.

"Iya. Bahagia itu tercipta ketika orang yang berpengaruh besar dalam hidup seseorang tersenyum karena perbuatannya."

Setelah Raka selesai dengan kata-kata bijaknya. Mata mereka bertemu di antara angin yang mengibarkan sedikit rambut Nadin. Cukup lama mereka diam sambil menatap. Mungkin susasana yang tenang di tepi pantai sangat membantu khidmatnya tatapan mereka. Suara deburan ombak dan burung pantai membuat semuanya lengkap untuk beberapa saat.

Sampai pada akhirnya mereka berdua tersadarkan. Terlihat gugup di antara mereka berdua saat saling membuang pandangan ke arah lain. Namun rasa canggung itu pecah ketika Laras menarik tangan Nadin untuk menemaninya bermain air. Kali ini Raka bisa bernapas panjang. Degup jantungnya tak secepat waktu menatap mata Nadin. Aliran darahnya kembali normal seperti sedia kala. Semuanya yang dirasakan Raka membuatnya bertanya kepada diri sendiri untuk memastikan dia masih sadar ketika melakukannya.

***

Sebelum mengantar Nadin dan Laras pulang, Raka yang sebelumnya sudah berjanji pada Laras untuk mengajaknya makan di restoran, akhirnya mengabulkan permintaan Laras. Mereka bertiga makan di restoran yang cukup mewah dengan pelayanan spesial. Tak seperti Laras, Nadin terlihat resah yang selalu melihat telepon genggamnya. Seperti ada yang ditunggu, atau malah dia yang menunggu.

"Kenapa sih? Ada yang ditunggu?" Tanya Raka.

Nadin hanya menggelengkan kepala.

Tidak tahu datang dari mana, Widya adik kelas Raka menghampiri. Kedatangannya mampu membuat Raka tertegun. Mampu membuat Nadin bertanya-tanya.

"Hai, Kak," Widya melambaikan tangannya.

"Lo?" Jawab Raka yang masih kebingungan.

Raka sedikit menggeser duduknya. Karena Widya meminta izin untuk duduk di samping Raka. Widya bertanya-tanya tentang pelajaran yang menurut Raka itu adalah sebuah kebohongan untuk menutupi obrolan sebenarnya. Setelah lima menit kemudian, akhirnya Widya menuju topik sebenarnya.

"Ini.. buat Kakak," Widya memberikan coklat.

Raka tersenyum geli, "Kalo lo ngasih gue coklat terus, gue bisa diabetes nih,"

Widya diam. Seperti ingin mengurungkan niatnya untuk memberikan coklat kepada Raka.

"Bercanda. Sini coklatnya,"

Widya kembali mengangkat wajahnya. Tersenyum manis di depan Raka, dan akhirnya berpamitan untuk pulang duluan.

Sebenarnya Raka tak suka makanan manis. Coklat yang diberi Widya sewaktu di kelas tak sedikit pun dimakan oleh Raka. Dia memberinya ke pengamen jalanan saat sepulang sekolah. Dan kali ini Raka akan memberikan coklat itu kepada Laras—untuk sekali lagi menyenangkan hati anak kecil ini.

***

Mentari sudah tak terlihat, ditelan temaram dengan dalih pergantian waktu. Raka yang meneyetir mobil hanya ditemani suara seorang penyiar wanita di radio. Nadin yang duduk di depan berdampingan dengan Raka sudah memejamkan matanya sedari tadi. Begitu pun Laras yang duduk di kursi belakang—yang sekarang sudah berbaring dengan beralaskan bantal kecil di kepalanya. Keheningan menyelimuti Raka yang sesekali mencuri pandangannya kepada Nadin. Senyum-senyum sendiri adalah kegiatan yang kerap Raka lakukan saat meneyetir menuju rumah Nadin.

Mobil yang dikendarai Raka sudah terparkir di halaman rumah Nadin. Saat dihitung melalui jam yang melingkar di tangan kanan Raka, sudah satu menit lebih dia menatap Nadin yang yang masih terlelap di sampingnya. Namun belum sempat menginjak menit ketiga Nadin terjaga. Dan dia sadar sudah ada di halaman rumahnya.

"Udah sampe dari tadi?" Tanya Nadin.

Raka yang merasa tertangkap basah karena memperhatikan wajah Nadin, bertingkah seperti anak kecil. "Enggak ko. Barusan. Biar gue bantu angkat Laras, ya. Jangan dibangunin kasian,"

Nadin mengangguk setuju, lalu Raka segera keluar mobil dan membuka pintu belakang mobil. Mengangkat Laras masuk ke dalam rumah dan menaruhnya di kamar. Nadin membuatkan teh hangat untuk Raka yang sudah duduk di sofa ruang tamu.

Nadin duduk di samping Raka sambil menaruh teh hangat buatannya, "Sekali lagi, makasih ya,"

"Makasih buat apa lagi sih, Din?"

"Buat semuanya. Eh, udah malem lo enggak pulang?"

Raka masih menempelkan gelas di bibirnya. Menoleh ke arah Nadin yang menundukkan wajahnya sejak tadi. Karena merasa tidak enak, Raka memutuskan untuk cepat-cepat pulang.

Perjalanan malam hening yang sendiri membuat Raka terus berpikir keras. Pertanyaan-pertanyaan tentang Nadin mulai bermunculan di kepalanya. Musik yang sudah diputar di dalam mobil tak berpengaruh untuk kekosongan yang ada di kepalanya. Bagi Raka, Nadin adalah wanita yang cukup tertutup yang tentang hidupnya. Dia tak pernah menyenggol sedikit pun mengenai keluarganya mau pun kegiatan yang sering dia lakukan sekarang. Di kepala Raka terbentuk tanda tanya besar terhadap Nadin yang misterius. Namun dengan begitu, mungkin sekarang Raka sudah bisa disimpulkan bahwa dia menyukai Nadin.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: May 28, 2020 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Cerita BahagiaWhere stories live. Discover now