Halaman Berujung Nyaman.

44 4 0
                                    

Hujan semakin deras saat Raka sampai di kediaman Nadin. Raka masih ingat tiga hari yang lalu dia berada di rumah ini karena sebuah perkelahian. Dia dirawat dengan baik oleh tuan rumah. Dan sekarang Raka menginjak lagi rumah sederhana ini yang begitu tenang suasananya, ditambah hujan yang turun membasahi tanah.

Alasan kenapa Nadin sangat terburu-buru pulang adalah, mengkhawatirkan adiknya yang masih kecil sendirian di rumah. Saat Nadin membuka pintu dan disambut dengan pelukan hangat ditengah dingginnya cuaca, Raka yang melihatnya mencoba tegar. Namun kejadian itu mampu mencairkan gumpalan air mata yang sudah lama Raka tak keluarkan. Raka menangis di belakang Nadin yang sedang memeluk adiknya.

Laras melihat Raka di tengah pelukan kakaknya. Dia histeris melihat Raka. Bukan takut, melainkan ada aura kuning yang terlihat di dalam mata Laras saat melihat Raka.

"Kakak! Kakak balik lagi ke sini. Kangen Laras, ya?" Laras menyudahi pelukan kakaknya dan berbalik memeluk Raka yang sudah siap membungkukkan badan untuk memeluknya.

"Iya, Kakak kangen Laras." Raka memejamkan matanya—larut dalam pelukan Laras..

Nadin yang melihat itu berdecak heran. Karena baru kali ini Laras bisa akrab dengan orang lain yang pertemuannya bisa dibilang sangat singkat. Namun jika benar begitu, Nadin sangat senang. Dia yang melihat adiknya bahagia dalam pelukan Raka itu tersenyum tipis.

Bukan maksud untuk memecahkan pelukan hangat antara adiknya dan Raka, Nadin meminta izin untuk ke kamar sebentar untuk sekadar berganti baju yang sedikit basah. Raka yang mendengar itu langsung membuka matanya dan melepaskan pelukan Laras, menganggukkan kepala untuk menjawab Nadin.

Di luar rumah hujan semakin menjadi-jadi. Suara percikkan air beradu dengan suara katak yang bersahut-sahutan meminta kepada Tuhan agar memperlebat dan memperpanjang waktu hujan. Semuanya terhiraukan. Semuanya seakan-akan terhempas jauh-jauh dengan perkataan Laras yang semakin banyak bicara semakin membuat Raka gemas padanya. Keakraban Laras dan Raka seperti sudah terjalin bertahun-tahun lamanya. Seperti ada kecocokan batin yang terjalin di antara Laras dan Raka.

Nadin cukup lama di dalam kamar. Sekalinya terlihat dia menghilang kembali di balik dinding arah dapur. Saat Raka dan Laras sedang asik menonton acara kesukaan Laras di televisi, Nadin datang membawa dua piring putih yang dia atasnya terdapat kentang goreng hangat yang siap dimakan.

"Laras. Lihat Kakak bawa apa?" Nadin menaruh dua piring putih itu di atas meja ruang tengah.

Laras langusung berlari kecil ke arah kakaknya, "Wah, kentang goreng kesukaan Laras,"

Nadin mengelus kepala adiknya. Terlihat dari tatapan Nadin bahwa dia sangat sayang dengan Laras. Sejurus kemudian Nadin menatap Raka yang juga sedang menatapnya. Karena malu mencuri pandangan terhadap Nadin, Raka menundukan kepalanya.

"Laras di sini aja, ya, nonton tv sambil makan kentang gorengnya. Kakak mau ngobrol di teras,"

"Iya, Kak, siap." Laras mengangkat tangannya, berbentuk hormat kepada kakaknya.

Nadin berdiri membawa satu piring yang berisikan kentang goreng. Menatap Raka dan mengisyaratkan untuk mengikutinya ke halaman teras. Raka bangkit, berjalan di belakang Nadin. Suasana di halaman teras rumah Nadin memang terbilang sangat santai untuk sekadar mengosongkan pikiran yang membebani hari. Mereka berdua merebahkan pikirannya masing-masing di atas kursi yang bersampingan dengan kursi yang lain.

Lima menit pertama mereka berdua hanya diam tak bersuara dan tak bersua. Hanya mengambil satu demi satu kentang goreng yang masih hangat untuk dinikmati. Namun suasana hening itu bertolak belakang dengan Raka yang selalu banyak bicara. Raka menarik napas panjang, mengumpulkan kata-kata untuk ditanyakan atau menyatakan.

"Nama lo siapa?" Tanya Nadin terlebih dahulu.

Raka menoleh ke arah Nadin sambil menahan napas yang bertujuan mengumpulkan kata-kata. Usaha Raka untuk mengeluarkan kata-kata terlebih dahulu terpatahkan.

Raka membuang napas, "Nama gue, Raka,"

"Makasih ya udah nganterin gue pulang," Pandangan Nadin masih lurus menatap jatuhnya air hujan sambil sesekali mengunyah kentang goreng.

"Iya sama-sama. Itung-itung balas budi karena waktu itu lo udah ngerawat gue," Raka tersenyum pahit karena pandangan Nadin yang masih lurus ke depan.

"Terus tadi, berantem lagi?"

"Ko tahu?"

"Tadi gue lihat lo di ruangan kesiswaan," Nadin tertawa kecil. "Mau sampe kapan terus-terusan berantem?" Sambung Nadin sambil melirik Raka di samping kanannya.

Raka bergeming menatap mata Nadin. Semakin lama menatap, semakin dalam pula Raka terhanyut dalam mata coklatnya itu.

Nadin meluruskan kembali pandangannya, "Lihat muka lo, lebam lagi kan? Enggak semua semua masalah harus diselesaikan dengan perkelahian, Rak. Oh ya, nama gue Nadin," Nada datar terus dikeluarkan Nadin.

Raka tak menghiraukan perkenal Nadin, karena dia sudah tahu lebih dulu sebelum Nadin memperkenalkan dirinya. Namun Raka lagi-lagi diam tak bersuara. Kali ini matanya menatap pot bunga yang berisikan bunga matahari yang basah. Nada datar bicara Nadin terus memaksa masuk ke dalam pikiran melalui telinganya. Raka coba angkat suara tentang dia membela kebenaran, namun dipatahkan kembali dengan kata-kata Nadin yang datar namun menusuk.

Kali ini otak Raka menyimpulkan bahwa Nadin lebih dewasa darinya. Dengan kata-kata yang terus menyerang dengan dalil menasehati Raka. Tapi dengan begitu, Raka yang mendengarkan Nadin, semakin larut dalam obrolan, membuatnya menjadi kagum terhadap Nadin.

Kata demi kata yang keluar dari mulut Nadin dan Raka seakan tak kenal waktu. Mereka berdua semakin asik terbawa suasana hujan yang belum mereda. Tidak peduli sang senja tak hadir kali ini. Dan tak peduli juga terhadap langit yang semakin redup membawakan keheningan.

Raka terus menatap mata Nadin ketika ia tersenyum. Menyimpannya ke dalam memori yang berharap mengerak untuk waktu yang lama. Raka berharap tubuhnya tak mengenal penyakit amnesia, agar sewaktu-waktu dia bisa menggulangnya dalam imajinasi sebagai pengantar tidur. Halaman teras yang tenang ini mampu mendudukkan jiwa Raka di dalamnya. Kata yang tepat untuk halaman yang nyaman ini adalah sempurna—untuk kehangatan bercengkrama mereka berdua.

Cerita BahagiaWhere stories live. Discover now