Kejutan Rahasia.

78 5 0
                                    

Luka di wajah Raka sudah mulai memudar. Pelipisnya yang sedikit sobek sudah kembali tertutup oleh sel epidermis. Hidung mancungnya sudah tak lagi mengeluarkan darah. Sudah tiga hari yang lalu perkelahian besar itu terjadi, namun belum ada niat yang bulat untuk membalas perbuatan kakak kelas yang semakin hari perilakunya semakin tak menyehatkan mata bahkan hati.

Sudah tiga hari ini juga Raka hanya diam di kelas sambil sesekali memutar pulpen yang biasanya dia taruh di salah satu kupingnya.

"Woi, Rak! Tumben lo enggak berisik di kelas belakangan ini," Teman sebangkunya berhasil membuat Raka sedikit terloncat dari lamunannya. "Kenapa bro, ada masalah?" Temannya merangkul Raka.

"Kalo ada lo mau bantuin?" Tanya Raka sambil melepas ranngkulan Deni.

"Tenang aja, Rak. Deni bakalan bantuin lo," Deni membentangkan tangannya, berlanjut dengan menepuk-nepuk dadanya sendiri.

"Ya udah. Samperin sana anak dua belas ips dua. Gerombolan mereka yang kemarin ngeroyok gue. Gimana, mau bantuin gue?" Tanya raka sambil tersenyum meledek.

Deni memegang kepalanya berkali-kali, "Emm.."

Raka tertawa kencang, membuat teman sekelas yang lain menatapnya. "Kenapa? Enggak berani? Ya udah, ke kantin yu, gue yang bayarin,"  Deni yang memasang wajah seperti orang ketakutan, lalu Raka menariknya untuk ikut ke kantin.

Dalam perjalanan ke kantin banyak dari kalangan adik kelas yang berbisik tipis membicarakan Raka. Kejadian seperti ini sudah biasa dia rasakan ketika keluar kelas. Namun dari hal seperti ini banyak dari kakak kelas mau pun dari kelas lain yang seumuran menjadi tidak suka dengan Raka. Mereka yang tidak suka selalu memendam dendam dalam hati mereka masing-masing. Dan sepertinya Raka tak peduli dengan hal itu sendiri. Dia lebih suka berteman dengan baik, walau uangnya harus habis ketika berkumpul dengan teman.

Saat Deni dan Raka sedang menikmati makanan di warung langganannya di kantin sekolah. Tiba-tiba saja mata Raka tertuju pada ujung kantin yang begitu ramai dengan kakak kelas. Bola mata Raka mengunci satu dari sebagian orang yang sedang duduk di ujung kantin itu. Dia adalah orang yang kemarin memukul Raka dari belakang memakai kayu, dan membuat Raka jatuh tak sadarkan diri.

"Den, lo tunggu sini ya," Raka bangkit dari duduknya dan meninggalkan makanan di mejanya.

"Lo mau ke mana, Rak?!" Deni meneriaki Raka.

Raka menghampiri sekolompok kakak kelas yang sedang bernyanyi-nyanyi di ujung kantin. Tanpa ada kata, Raka menarik satu orang untuk keluar dari lingkaran teman-temannya. Membawanya ke belakang perpustakaan, tempat para siswa nakal merokok dan berkelahi.

Raka mendorongnya ke tanah. Memukulnya berkali-kali sampai dia berteriak minta tolong. Teman-temannya yang awal mula kesal dan berapi-api ketika Raka menarik salah satu dari mereka, seketika diam. Nyali mereka seakan hilang ketika melihat di belakang Raka banyak anak kelas dua belas yang akrab dengan Raka. Itu semua hanya kebetulan. Raka tak memanggil mereka. Hanya saja anak kelas dua belas yang akrab pada Raka sedang merokok di tempat itu.

Seperti biasa. Semuanya hanya menonton aksi dari Raka yang sudah biasa dilihat. Perkelahian itu tak akan berhenti sampai Raka puas memukuli yang orang yang sudah membuat Raka tak sadarkan diri. Sampai akhirnya guru bidang kesiswaan datang memisahkan perkelahian itu. Wajah dari lawan Raka sudah benar-benar tak benbentuk. Lebam di mana-mana. Darah yang keluar dari hidung mewarnai seragam sekolah yang berwarna putih. Mereka berdua dibawa ke ruangan bidang kesiswaan.

Raka dipaksa menjelaskan kronologi kejadian yang tadi terjadi. Tanpa ada pembelaan dari kakak kelas yang menjadi lawan Raka—Raka menjelaskan dengan sangat detail. Sampai akar dari permasalahan bahwa Raka hanya ingin menolong wanita yang menjadi korban kejinya hawa nafsu kakak kelas yang tak tahu diri. Guru yang mendengarkan penjelasan Raka terdiam dan hanya bisa mengangguk-anggukan kepala sebagai isyarat bahwa mereka mengerti.

Raka selalu mempunyai alasan dengan perbuatannya. Akhirnya mereka berdua dihukum, Raka yang harus hormat dengan bendera merah putih yang menjulang tinggi ke angkasa dan kakak kelas yang menjadi lawannya itu harus terkena skorsing karena sudah mengeroyok Raka. Dan satu orang lagi, kakak kelas yang bernama Dio, dia terancam dikeluarkan dari sekolah karena melakukan hal tidak terpuji terhadap wanita, lebih-lebih di dalam sekolah.

***

Lima belas menit lagi bel pulang berbunyi. Raka sudah tak sabar menunggu itu terjadi. Karena tangannya sudah lelah menggantung. Keringat bercucuran sampai membasahi seragam yang sudah kotor karena perkelahian siang tadi.

Entah rasa kasian atau diskon hukuman, tiba-tiba guru yang menghukum Raka mengampiri dan menyudahi hukuman itu. Bel pulang mungkin merasa terkhianati kali ini, karena hukuman disudahi sebelum dia berbunyi. Raka cepat-cepat berteduh di bawah pohon mangga dekat lapangan upacara. Meneguk air mineral yang sudah dia siapkan sebelum berdiri di tengah lapangan.

Raka bersandar di bawah pohon menghadap arah ruang guru yang masih terlihat ramai. Dari kejauhan dan samar-samar, mata Raka tersemat kepada pundak seorang wanita yang tak asing dilihatnya. Dengan rambut dikuncir rapi ke belakang. Tas gendong yang biasa dipakai pria. Semua yang dilihat Raka pada wanita yang sedang berbicara dengan wakil kepala sekolah itu, Raka dibuat semakin penasaran. Apakah itu dia? pertanyaan itu terus terngiang dalam kepala Raka.

Saat pembicaraan mungkin sudah selesai dengan wakil kepala sekolah, wanita itu berbalik. Raka berhenti menelan ludah, walau dia sempat hampir dehidrasi tadi. Matanya masih menatap wanita yang berjalan ke arahnya tanpa melihat sekitar. Nadin, nama itu yang muncul pertama kali saat Raka melihatnya.

Raka membuka seragamnya yang kotor terkena tanah saat perkelahian. Dia menghapus keringatnya yang sempat bercucuran. Raka mulai berdiri agar Nadin melihat bahwa dia bersekolah di sini. Rencana Raka untuk menarik perhatian ternyata membuahi hasil. Di lihat dari kejauhan, mata Nadin mulai menyipit untuk memperjelas pandangannya bahwa dia tak salah melihat.

Nadin menujuk Raka yang sedang pura-pura sibuk dengan tasnya, "Lo?"

Raka mengangkat padangannya. Dia merasa menang oleh keadaan, akhirnya Nadin melihat dan menyapanya terlebih dahulu, "Eh, kita ketemu lagi," Raka tersenyum menyembunyikan rasa bangga atas keberhasilan caranya itu.

"Lo sekolah di sini?" tanya Nadin dengan wajah heran.

"Emm, enggak. Gua lagi ngecek lokasi kerja gue. Gue di sini satpam," Jawab Raka yang masih dengan senyumnya.

Nadin menurunkan bola matanya, melihat celana abu-abu yan dipakai Raka, "Bercanda." Nadin meninggalkan Raka yang masih terlihat bodoh dengan celana abu-abunya.

Raka mengikuti langkah Nadin, lebih tepatnya berusaha menyamainya di samping. Karena merasa tidak enak sudah berbohong, Raka memulai pembicaraan lagi dengan meminta maaf, "Maaf. Iya gue sekolah di sini," Raka mencoba mencairkan suasana dengan tawa kecilnya, namun tak berhasil. "Lo sendiri ngapain di sini?" Sambung Raka dengan pertanyaan.

Nadin berhenti berjalan. Melihat langit yang awalnya cerah namun tiba-tiba mulai gelap. Nadin berusaha berdoa agar tak turun hujan sebelum ia sampai di rumah. Namun, doanya mungkin terlambat ketika Tuhan sudah berencana untuk menurunkan hujan. Rintik pertama jatuh. Tak deras, namun mampu membuat Nadin menjadi lebih panik.

"Lo bawa kenndaraan?" Tanya Nadin cepat dengan panik.

"Gue bawa motor," Jawab Raka polos.

"Ya udah. Anterin gue pulang sebelum hujannya makin deras," Nadin menarik tangan Raka dengan sok tahu.

"Tunggu!" Raka berhenti berlari.

"Apa lagi. Minta bayaran? Nanti gue bayar di rumah," Nadin masih dengan nada paniknya.

"Bukan. Tapi parkirannya sebelah sana," Raka menunjuk arah sebaliknya.

"Emm.. ya udah, ayo."

Nadin menarik kembali tangan Raka dengan cepat. Mungkin memang segenting itu sampai dia harus benar-benar cepat dengan kepanikan yang menguasainya. Raka semakin yakin Tuhan tak mengabulkan doa Nadin untuk tidak hujan, karena Raka sudah berdoa lebih dahulu agar dibuatkan skenario untuk bertemu Nadin kembali. Di dalam perjalanan Raka terus bersyukur terhadap apa yang terjadi hari ini. Hidup memang penuh dengan kejutan yang membuat sebagian manusia lalai karena kejutan itu sendiri. Dan kali ini Raka diberi kejutan yang mungkin rahasia dari Tuhan—hanya Raka, Nadin dan Sang Pencipta skenario itu sendiri yang tahu.

Cerita BahagiaWhere stories live. Discover now