"Jawab saja, Mbak, takutnya nanti dia semakin curiga," saran Andi.

"Percayalah semua akan baik-baik saja," sambungnya karena melihat Alsya masih terdiam.

Alsya akhirnya mengangguk dan mempersiapkan dirinya. Berdehem sejenak agar nantinya Andara tak tahu bahwa Alsya baru saja menangis.

"Bunda ..." Suara dari seberang sana seketika langsung mendominasi ketika Alsya baru saja menggesek tombol hijau dilayar ponselnya.

"I-iya, Sayang." Sial, dia masih saja gugup padahal tau itu hal yang sangat fatal.

"Bunda nelpon Ara tadi karena apa? Sampe banyak banget?" Tanya Andara masih dengan nada normal. Tentu saja Andara mengklaim bahwa jumlahnya banyak, karena mereka melakukan panggilan sekitar sepuluh kali.

Alsya terdiam sebentar, mencoba berpikir alasan apa yang harus ia keluarkan.

"Tadi disini ada gangguan jaringan, Sayang. Setiap menelpon kadang ga tersambung ke nomor tujuan. Karena itu bunda coba untuk menghubungi kamu. Maaf ya, Nak, kalau bunda menggangu," ujar Alsya dengan sangat mulus seolah tak ada apa-apa.

"Ohh begitu. Tapi Alhamdulillah masuk kok, Bun. Terhubung kalau ke Ara."

"Iya, Nak."

"Lantas, kenapa bunda masih terjaga padahal ini sudah menjelang pagi?" Tanya Ara langsung menyodok pokok utama masalah.

Skakmat!

Alsya sudah hampir terjebak.

"Bunda lagi ga ngantuk, Nak. Lagipun ada hal penting yang harus bunda kerjakan."

Dalam hal ini, ia tak sepenuhnya berbohong. Hal penting yang ia maksud adalah memastikan kondisi putranya. Berangkat secara mendadak dari Aceh menuju Jakarta hanya demi Dirga.

Agak lama Andara terdiam. Hingga suaranya kembali terdengar layaknya sebuah cicitan.

"Bun," panggil Andara.

"Iya, Sayang?"

"Bunda lagi ga menyembunyikan sesuatu, kan?" Tanyanya dengan suara bergetar. Bisa Alsya pastikan anaknya sedang menangis disana.

"Dek? Ara? Kamu nangis, Nak?" Alsya balik bertanya, mengabaikan pertanyaan Andara yang duluan terlontar.

"Ara barusan mimpi buruk, Bunda. Ara takut," lirihnya sambil terisak.

"Ara mimpi ketemu abang. Terus dia meluk Ara lama banget, dia juga nyium ubun-ubun sama mata Andara. Ga lama setelah itu abang bilang kalau dia mau pergi, jauh ... banget. Dia ga ngajak Andara, dia ninggalin Ara gitu aja, Bun," ujar Andara menceritakan isi mimpinya.

Setetes air mata turun membasahi wajah Alsya. Ia percaya, sepandai apapun ia menyembunyikan keadaan Dirga pada Andara, itu tak berguna. Karena kedua anaknya itu terikat oleh kukungan batin yang sangat kuat. Andai Andara paham akan makna mimpinya itu, mungkin seketika semua ini terbongkar.

"Ara takut, Bunda. Terlebih waktu ngeliat bunda nelpon berkali-kali. Pikiran Ara udah kemana-mana."

"Semalam juga, Ara lagi di dapur, terus tiba-tiba gelas yang Ara pegang jatuh. Ga tau kenapa bayangan abang langsung ada di pikiran Ara. Perasaan Ara ga enak, Bun. Ara udah coba telpon abang, ngechat dia berkali-kali. Ta-tapi, ponsel abang bahkan ga aktif." Tangis Andara terdengar semakin berat, ia sesenggukkan hingga berbicara dengan terbata-bata.

"Sayang, tenanglah! Abang baik-baik saja. Dia pastinya sedang istirahat sekarang," ujar Alsya dengan air mata yang terus menetes. Namun sebisa mungkin ia menormalkan suaranya.

"Tapi kenapa ponselnya sampai mati begitu? Kenapa abang ga balas satupun pesan Ara? Dia ga pernah kek gini sebelumnya, Bun. Dia ga pernah mengabaikan Ara."

Pertanyaan Andara kembali memaksanya untuk berbohong.

"Mungkin abang lagi ga sempat buka hp, Nak. Setelah pertandingan dia juga harus segera istirahat, jadi ga punya waktu banyak untuk main hp," terang Alsya.

Seberapa banyak kebohongan yang sudah ia lancarkan dalam waktu berapa menit ini?

"Sayang," panggil Alsya ingin mengakhiri semuanya.

"Iyaa, Bunda?"

"Sekarang masih setengah empat pagi. Lebih baik sekarang kamu tidur lagi ya, Sayang. Terhitung masih ada satu jam sisa waktu sebelum subuh. Besok kamu sekolah, kan? Jangan sampai ngantuk. Doakan saja yang terbaik untuk abangmu."

Andara sempat terdiam beberapa saat, mungkin hatinya belum bisa percaya seratus persen. Namun tak lama setelah itu, suaranya kembali terdengar.

"Baik, Bunda. Ara tutup dulu ya. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumussalam warahmatullah."

Tut!

Sambungan terputus bersamaan dengan tubuh Alsya yang langsung terduduk di kursi tunggu. Ia menangis hebat, tak tega rasanya telah membohongi anak sendiri. Namun apalah daya? Keadaan memaksanya untuk melakukan itu.

"Saya jahat ya, Om?" Tanya Alsya disela-sela tangisnya.

Andi yang masih setia berdiri didepannya pun paham dengan apa yang Alsya rasakan saat ini. Sebagai seorang ibu, Alsya pasti menanggung rasa bersalah yang amat besar.

"Tidak, Mbak," jawabnya.

"Heh? Ibu macam apa yang tega membohongi anaknya sendiri," ujar Alsya miris.

"Mbak., kali ini kita dipaksa untuk manut pada alur yang berjalan. Kita seolah diminta tak berkutik dari jalannya alur tersebut. Ikuti saja dulu, Mbak. Untuk sementara, ini adalah jalan terbaik yang harus kita ambil. Memberitahu Andara tentang kondisi Dirga sekarang bukanlah hal yang tepat, karena belakangan kita tau, Andara sedang melaksanakan berbagai ujian disekolahnya. Memberitahukannya sama saja membuat fokusnya terbelah dua. Antara ujian dan kondisi Dirga."

"Bagaimana kalau dia kecewa berat saat mengetahuinya nanti, Om?" Lagi-lagi Alsya masih ragu dengan jalan yang telah ia ambil.

"Insyaallah, Andara sudah cukup besar untuk mengerti semuanya," jawab Andi.

Ada kalanya, keadaan memaksa kita untuk mempermainkan sebuah kebohongan, menutupi sebuah kebenaran atas dasar kebaikan untuk beberapa pihak.

Berat?
Tentu saja.
Tapi, keadaan seakan memaksa agar hal tersebut harus dilakukan.

"Maafin bunda, Sayang. Kali ini bunda terpaksa nyembunyiin semuanya."

***

𝐊𝐞𝐭𝐢𝐤𝐚 𝐓𝐚𝐤𝐝𝐢𝐫 𝐌𝐞𝐧𝐲𝐚𝐩𝐚 [𝐒𝐮𝐝𝐚𝐡 𝐓𝐞𝐫𝐛𝐢𝐭]Where stories live. Discover now