MS. Dirgantara

1.6K 112 11
                                    

Tahun Pertama
📍Aceh, Indonesia

Di hamparan lapangan besar beralaskan semen milik SMA Cakrawala, telah berdiri ratusan siswa-siswi mereka dengan pakaian yang sama. Terkecuali bagi petugas upacara yang dibedakan dengan atribut-atribut tertentu.

Semuanya berdiri tegap, membentuk blok-blok yang terdiri atas baris dan banjar dengan seorang ketua di samping kanannya.

Upacara, yang dilaksanakan oleh semua sekolah di Indonesia pada hari senin. Salah satu momen rutin yang dilakukan untuk mengenang jasa para pahlawan dalam memerdekakan bangsa ini. Pun untuk meningkatkan semangat juang bagi putra-putri yang nantinya akan menjadi penerus.

Di tengah lapangan, berdiri seorang lelaki dengan sebuah topi hitam di kepalanya. Berlogokan bendera merah putih dan sekotak bordir berisikan huruf C, topi khas yang hanya dipakai oleh pimpinan upacara.

Lelaki dengan nametag Ms. Dirgantara itu tengah bersiap-siap untuk mengeluarkan suaranya. Memberikan komando untuk melakukan penghormatan kepada sang merah putih yang hendak naik ke puncaknya.

"Seluruhnya, kepada bendera merah putih, hormat ... grak!" Suara lantangnya telah menggelegar, bersamaan dengan sang pembawa baki yang menginfokan bahwa bendera telah siap.

Seluruh peserta upacara, termasuk guru juga pembina, mulai menaikkan lengan mereka, membentuk sudut empat puluh lima derajat dengan ujung telunjuk yang mengenai pelipis.

Iringan lagu Indonesia Raya dinyanyikan langsung oleh tim paduan suara yang bertugas pada hari itu.

Dirga, selalu merasakan hawa yang berbeda ketika lagu kebangsaan itu dinyanyikan. Ada sensasi luar biasa yang tidak bisa dijelaskannya. Hanya saja, itu mampu membuatnya terbuai dalam semangat kemerdekaan yang dulu pernah dikobarkan.

"Hiduplah Indonesia Raya."

"Tegak... grak!" Ia kembali memberikan komando, ketika iringan lagu telah selesai, dan bendera sudah sampai pada ujung tiang. Berkibar megah diiringi dengan desiran angin.

Upacara terus berlanjut dengan amanat dari pembina upacara hingga pembacaan doa penutup sebelum akhirnya dibubarkan.

Penghormatan dari ketua paling kanan dan kembalinya pemimpin upacara ke tempatnya, menjadi bagian akhir dari upacara hari ini.

Di sudut lapangan, Dirga melepas topinya, kemudian dengan segera menyugarkan rambutnya dengan tangan. Peluh tentunya sudah membanjiri rambut juga wajahnya. Meski sudah memakai topi, tentunya tetap tidak bisa menghindari sinar matahari. Itu semua karena posisinya yang tepat berada di tengah lapangan.

Dirga tak sadar, banyak mata yang memperhatikannya dengan tatapan kagum dan memuja. Terlebih setelah menyaksikan kewibawaannya memimpin upacara hari ini. Kharismanya memang tak diragukan lagi.

Dirga sendiri heran, bagaimana orang-orang bisa mengenalnya. Terlebih para siswi dari berbagai kelas dan tingkatan, yang dia sendiri saja tidak mengenali mereka sama sekali. Dirga bukanlah kapten tim basket, kapten tim volly, ketua osis, atau apa pun itu yang berhubungan dengan ketenaran. Percaya tidak percaya, dia bahkan tidak mengikuti ekskul apa pun di sekolah ini.

Dia hanya siswa biasa, yang kesehariannya cuma di kelas, kantin, dan lapangan ketika jam olahraga. Tidak ada yang terlalu berarti, namun entah kenapa belakangan ia menjadi sangat terkenal.

Ia pun sebenarnya tidak menginginkan hal itu. Dia adalah type lelaki yang risih jika dipandangi oleh wanita secara terang-terangan, bahkan terkesan berlebihan. Apalagi jika ada siswi yang menyapanya bahkan di tengah keramaian, malu luar biasa, itu yang selalu Dirga rasakan.

"Dirga." Panggilan itu datang dari arah lapangan, membuat yang dipanggil pun segera menoleh. Tenang, itu suara lelaki, bukan sekumpulan siswi yang ia bicarakan tadi.

𝐊𝐞𝐭𝐢𝐤𝐚 𝐓𝐚𝐤𝐝𝐢𝐫 𝐌𝐞𝐧𝐲𝐚𝐩𝐚 [𝐒𝐮𝐝𝐚𝐡 𝐓𝐞𝐫𝐛𝐢𝐭]Where stories live. Discover now