PROLOG✓

2.8K 142 20
                                    

Di zaman modern ini, tempat kita menemui serba-serbi hal canggih, mulai dari alat-alat untuk pekerjaan rumah tangga, alat pertahanan, hingga kecerdasan buatan. Semua itu sudah sangat lazim kita temui di masa sekarang.

Ratusan gedung bertingkat berdiri dengan kokohnya di tengah-tengah kota. Tak peduli seberapa sesaknya daerah di sekitarnya. Makin penuh, makin di isi, begitulah singkatnya.

Di zaman ini juga, telah kita lihat bagaimana berkembangnya alat-alat utama sistem pertahanan, yang sering dikenal sebagai alutsista. Digunakan oleh tentara-tentara kita guna menjaga kedaulatan dan ketahanan NKRI.

Namun, sayangnya, di zaman yang serba modern ini, zaman yang ibaratnya tidak kurang satu apa pun, kita masih menemui orang-orang yang bersaing dengan cara yang tidak sehat. Aksi kriminalitas, korupsi, hingga terorisme masih sering kita jumpai dan tak ayal menjadi salah satu dari banyaknya tumpukan PR Negara.

Adanya kelompok-kelompok bersenjata, yang terbentuk entah dengan tujuan apa. Tak terkira jelas atau tidaknya, yang pasti mereka mempunyai target yang ingin di habisi.

Sama halnya dengan lelaki yang saat ini duduk di kursinya. Di dalam sebuah ruangan dengan intensitas cahaya yang kurang. Di dalam remang, ditemani sunyi, sembari menyunggingkan senyum sinisnya.

Tok! Tok!

Akhirnya, pintu ruangan itu diketuk juga. Pertanda bahwa seseorang yang sangat ditunggunya telah tiba. Sosok yang akan membawakan sebuah informasi penting.

"Kamu sudah mendapatkannya?" Tanya lelaki itu dengan lirih, namun menusuk.

"Sudah, Tuan," jawab seorang pria dengan setelan hitam. Ia terlihat muda, diperkirakan masih berumur dua puluh tahunan.

"Mana?" Tagih seseorang yang dipanggil 'Tuan' itu.

Lelaki muda tadi tampak mengeluarkan sebuah berkas dari dalam tasnya. Tanpa kata, ia langsung memberikan hal itu kepada si peminta.

"Kamu sudah memastikan ini semua, Kara?"

"Sudah, Tuan," jawab sosok pria yang akhirnya diketahui bernama Kara.

Baskara Yudha, satu nama yang cukup mengesankan. Terdengar memiliki kharisma yang luar biasa. Itu semua benar adanya, hanya saja, ia meletakkan kharisma dan kemampuannya di tempat yang salah. Yakni bekerja pada orang yang cita-citanya ingin menyebabkan keributan besar.

Memang, semakin hari semakin banyak orang yang bertindak tidak dengan akal sehat.

"Andara ..." gumam lelaki yang masih setia duduk di atas kursinya.

"Ini putrinya?" Tanyanya sambil terus memperhatikan data yang disajikan. Sayangnya, tidak ada selembar foto pun di sana.

"Benar, Tuan. Itu adalah anak bungsunya. Dengan begitu, saya rasa dia lebih memungkinkan untuk kita jadikan umpan," balas Kara. Sedikit puas dengan hasil pencariannya.

"Sudah kamu pastikan yang mana orangnya?"

Kara terdiam. Dia bilang juga apa, hanya sedikit puas, karena untuk mencari info tentang anak perempuan ini terbilang susah. Bahkan untuk wajahnya saja, Kara tidak tahu.

"BASKARA!!" Bentak sang Tuan dengan nada yang keras. Kemungkinan orang yang berada di luar ruangan juga bisa mendengar.

"B-belum, Tuan. Saya sudah mencari datanya kemana-mana, namun agaknya anak itu dijaga dengan sangat ketat, hingga kita tidak bisa menemukannya." Kara mencoba melakukan pembelaan, toh dia tidak sepenuhnya salah.

"Lantas bagaimana rencana kita akan berjalan, jika targetnya saja tidak kau ketahui dengan jelas. Dasar bedebah." Setelah memuncratkan kemarahannya, memaki adalah langkah selanjutnya yang tak pernah lelaki itu lupakan.

"Menurut info yang kita dapatkan, Andara selalu bersama dengan abangnya. Putra sulung keluarga mereka. Untuk sementara, kita hanya perlu memperhatikan gerak-gerik putranya. Setelah itu, baru menyusun rencana untuk menangkap putrinya," jelas Kara. Walau bukan informasi penting, namun itu tetap bisa dijadikan patokan dalam rencana mereka, khususnya untuk mencari Andara.

"Baiklah, kita akan mencoba saranmu. Bagaimanapun gadis itu yang sangat kita butuhkan. Tapi, ingat jika kau gagal, aku bahkan tak akan membiarkanmu hidup."

Kara sedikit meringis, selama bertahun-tahun menjadi tangan kanan sang Tuan tak membuatnya kebal dari ancaman. Ia tetap merasa ciut ketika nyawanya di pertaruhkan.

"Keluar!" Titahnya.

"Baik, Tuan." Sesuai perintah, Kara langsung melenggang pergi. Setidaknya ke tempat yang lebih aman daripada ruangan setan.

Lelaki tadi, kembali dalam memori dendamnya. Dipandanginya foto seorang lelaki muda yang diselipkan dalam berkas bawaan Kara. Lelaki itu, putra sulung dari seseorang yang sangat dibencinya.

"Kamu tampak seperti ayahmu, Anak muda," gumamnya sambil terus memandangi foto abang dari gadis yang bernama Andara tadi.

"Fairuz ... Sebentar lagi, entah putra atau putrimu, yang jelas, kau akan hancur di tanganku. Dendam tak runtuh dengan semudah itu."

"Andara, semoga sisa harimu menyenangkan."

•••

𝐊𝐞𝐭𝐢𝐤𝐚 𝐓𝐚𝐤𝐝𝐢𝐫 𝐌𝐞𝐧𝐲𝐚𝐩𝐚 [𝐒𝐮𝐝𝐚𝐡 𝐓𝐞𝐫𝐛𝐢𝐭]Unde poveștirile trăiesc. Descoperă acum