Bingung

461 58 0
                                    

Pukul sembilan malam, Alsya masih setia menunggu suaminya. Fairuz sampai saat ini masih belum tiba di rumah, lelaki itu juga tidak mengiriminya pesan sama sekali. Membuatnya overthinking saja.

Sekarang ia masih berada di kamar Dirga. Seperti biasa, menemani anak itu sebelum tidur. Sebenarnya Dirga tidak meminta, tapi Alsya senang saja ketika bersama putranya. Karena pagi sampai sore ia sibuk dinas, maka malam hari ia ingin lebih dekat dengan anak sulungnya itu.

"Abang kalau ngantuk tidur aja, ya!" Ujar Alsya. Ia masih mondar-mandir tak jelas di dalam kamar putranya itu.

"Bunda kenapa mondar-mandir sih. Dirga pusing lihatnya." Nahkan, kelakuannya sekarang memang tidak jelas.

Alsya terkekeh pelan, ia menggelengkan kepalanya kemudian mendekati Dirga. Seperti biasa, ia akan duduk di pinggir ranjang anak itu.

"Maaf, ya. Sekarang abang tidur, gih. Udah jam sembilan."

"Bentar lagi, Bun. Nunggu ayah pulang dulu."

"Kalau ayah pulangnya lama gimana? Kamu ga tidur-tidur, gitu?" Tanya Alsya sambil memandangi wajah Dirga.

Dirga terkekeh, tangannya meraih sebelah tangan Alsya, kemudian ia tempelkan ke pipinya. "Kalau kelamaan ya pasti Dirga tidur, Bunda ... Bentar lagi juga udah ngantuk," ujarnya lucu.

Alsya tersenyum manis menanggapi jawaban Dirga, namun sesaat kemudian senyumnya pudar karena sesuatu yang telah menyita perhatiannya.

Dengan pelan, ia meraih tangan Dirga, membalikkannya hingga sebuah plaster terlihat jelas menempel di sana.

"Dirga, ini kenapa?" Tanya Alsya bingung.

Bukannya langsung menjawab, Dirga malah dengan spontan menarik tangannya dari genggaman Alsya, membuat wanita itu menatapnya curiga.

"I-ini___"

"Ini apa?"

"Tadi Dirga jatuh, Bun. Di sekolah," dustanya.

"Gimana bisa jatuh sih?"

Untuk anak seumuran Dirga, tragedi jatuh itu mungkin sudah sangat jarang. Makanya agak sulit untuk dicerna.

"Yaaa, tadi Dirga main, terus kesandung. Jatuh."

"Tapi kok ini kayak luka goresan, mana besar lagi." Dirga mulai kewalahan, bundanya ini kalau bertanya sangat mendetail.

"Iya, Bunda. Tadi emang kegores sama kawat," alibi Dirga.

"Emang di lingkungan sekolah kamu ada kawat? Dimananya? Kok bunda ga tau."

"Ya jelas lah bunda gatau, kan ga pernah ke sekolah Dirga. Asal ada apa-apa yang pergi kan ayah." Dirga untuk sekian kalinya kembai mengeles.

"Yaudah besok bunda ke sekolah kamu, buat mastiin."

Dirga tepuk jidat seketika.

"Ya Allah, Bun ... Ga gitu juga konsepnya," ujar Dirga frutasi.

Alsya tertawa cukup keras, jarinya dengan santai menjawil hidung Dirga.

"Bercanda, Sayang. Bunda percaya kok sama kamu. Jadi ini siapa yang ngobatin?"

"Om Andi."

Dirga menghela nafas lega, untung bundanya tidak bertanya lebih lanjut, bisa mati mendadak dia. Dalam hati ia memohon maaf karena telah membohongi bunda tercinta, jika ketahuan, habislah sudah.

Di tengah suasana yang menurut Dirga sedikit aneh ini, terdengar suara pintu diketuk. Dalam hati ia kembali bersyukur, itu pasti ayahnya.

Benar saja, suara lelaki itu mulai terdengar, mengucapkan salam sembari memanggil Alsya. Yang dipanggil pun langsung menyahut dan bersiap untuk keluar dari kamar Dirga.

𝐊𝐞𝐭𝐢𝐤𝐚 𝐓𝐚𝐤𝐝𝐢𝐫 𝐌𝐞𝐧𝐲𝐚𝐩𝐚 [𝐒𝐮𝐝𝐚𝐡 𝐓𝐞𝐫𝐛𝐢𝐭]Où les histoires vivent. Découvrez maintenant