32 || Talk

1.4K 106 4
                                    

Sebuah mobil BMW hitam terlihat berhenti di garasi. Arby, sang pengemudi terlihat keluar dari kendaraan tersebut sembari menenteng beberapa buku di tangannya.

Jam sudah menunjukkan pukul 10 malam, dan seperti biasa suasana rumahnya sepi. Memiliki orangtua yang gila bekerja membuatnya harus terbiasa akan keadaan seperti ini.

Baru saja Arby menginjakkan kakinya di ruang tengah, mata cowok itu menangkap seseorang yang sedang duduk di sofa. Bukan pemandangan yang asing sebenarnya, karena orang itu adalah Vena, sahabatnya sendiri.

"Bimbelnya sampe jam segini emang, ya?" tanya Vena. Gadis berambut panjang itu tampak duduk anteng di sofa dengan semangkuk popcorn di pangkuannya.

Arby mengedikkan bahunya seraya ikutan duduk di samping Vena. Tangannya meletakkan buku-buku yang tadi ia tenteng di meja.

"Gue abis ke rumahnya Jeno, besok dia ada ujian Matematika," jawab Arby.

Vena pun hanya mengangguk-angguk paham. Kegiatan Arby di luar sekolah selain mengikuti bimbel, cowok itu juga merangkap sebagai tutor Matematika. Biasanya ia sering diminta mengajari anak SMP khusus untuk mapel Matematika. Dan Jeno adalah salah satu anak SMP itu, kebetulan mereka juga masih dalam ruang lingkup keluarga besar.

"Lo mau nginep?" tanya Arby setelah keduanya cukup lama terdiam.

Kunyahan Vena terhenti sejenak, lantas ia menoleh ke arah Arby. "Emang diizinin?"

"Ck, gak gue izinin lo tetep nginep juga, 'kan?"

"Ihhh, pengertian banget, sih, sahabatku ini." Vena berujar seraya tersenyum lebar. Gadis itu memang sudah terbiasa menginap di rumah Arby. Meskipun letak rumahnya hanya berjarak beberapa meter dari sini.

Bukan tanpa alasan Vena sering menginap, ia hanya tak ingin Arby kesepian. Rumah besar bergaya mediterania ini hanya dihuni olehnya seorang. Orangtuanya sangat jarang sekali pulang, keduanya lebih sering menetap di luar negeri.

"Oh, iya, gimana lo sama Icha?" tanya Vena sembari meletakkan mangkuk popcorn di meja. Tangan gadis itu beralih mengambil sekaleng soda dan langsung meneguknya.

"Gak gimana-gimana."

"Lo ... emang beneran suka sama dia, ya?"

Arby menghela napasnya sejenak. "Ven, kita udah bahas ini. Gue serius sama Icha, kalo enggak, gak mungkin gue nembak dia, 'kan?"

"Gue paham, tapi gak ngasih gelang milik Luna ke dia juga, 'kan?"

Tubuh Arby sedikit menegang mendengar ucapan itu. Ia menoleh ke arah Vena yang tampak menatapnya dengan tajam.

"Ya ... apa masalahnya?"

Vena sedikit berdecak, tidak tahu harus menjelaskan dari mana. "Dengan lo ngasih gelang itu ke Icha, gue malah berpikiran kalo lo pengen dia beneran kayak Luna."

"Pikiran lo gak masuk akal, Ven. Gue ngasih gelang itu karena gue berpikir Icha berhak terima."

"Tapi gak dari gelang pemberian Luna juga, 'kan? Gue tau lo masih mampu buat beli gelang baru."

Arby mengusap wajahnya frustasi, tidak tahu harus berkata apa lagi. Jauh dari lubuk hatinya, ia sedikit membenarkan ucapan Vena.

Ya, gelang yang ia berikan pada Icha itu adalah milik Luna, mantan pacarnya. Gelang couple itu juga Luna yang beli. Arby memberikan gelang itu pada Icha karena merasa gadis itu memang berhak menerimanya.

Namun jauh dari lubuk hatinya, Arby seperti melihat Luna kembali apabila Icha memakai gelang tersebut. Keduanya semakin mirip.

"Gue bingung, Ven," ujar Arby lirih, terdengar putus asa. Sebenarnya ia tak ingin menjalani sebuah hubungan di saat ia masih belum bisa melupakan Luna. Tapi Arby berpikir, mungkin dengan cara ini, ia bisa perlahan mengikhlaskan Luna.

All About Us [Terbit]Where stories live. Discover now