Tentang Prioritas

4 2 0
                                    

Gue mengedipkan mata beberapa kali, berusaha menyesuaikan cahaya matahari yang mengenai mata. Gue bangkit dan melirik jam di atas nakas. Masih jam 6 pagi.

Gue bangkit lalu berjalan ke arah jendela kamar, berdiri sambil memejamkan mata, menghirup udara pagi yang sangat menyejukkan.

Setelah beberapa menit menikmati sensasi udara pagi, akhirnya gue memilih keluar. Gue berjalan ke arah dapur untuk membuat secangkir kopi di pagi hari.

Hot Cappucino.

Gue membawa secangkir kopi itu ke ruang keluarga. Gue mengambil remote dan mulai menyalakan televisi. Gue meniup kopi itu lalu mulai meneguknya dengan perlahan.

"Kak." Suara itu otomatis menginterupsi gue menghentikan minum kopi. Gue menoleh dan melihat Justin yang kini duduk di sebelah gue.

Setelah meletakkan cangkir kopi itu, akhirnya gue bertanya. "Ada apa?"

"Kakak semalem kenapa nggak ke rumah sakit lagi. Kakak belum pernah sekali pun nengok Mama."

Gue mengalihkan pandangan. "Kakak tidur." Gue berbohong.

Justin mengangguk pelan. "Aku kira Kakak mengabaikan pesan aku lagi."

Gue tersenyum canggung. "Kemarin gak terjadi apa-apa, kan?"

Justin menggeleng. "Nggak. Papa mana berani macem-macem ke Mama kalau ada aku ataupun Kakak."

Gue mengangguk pelan. "Kamu istirahat aja hari ini, mumpung libur sekolah."

Justin menoleh. "Kakak mau gantiin aku jagain Mama?" tanya Justin kaget.

Gue terbelalak. Padahal bukan itu maksud gue.

"Kakak hari ini ada acara." Gue berbohong lagi.

"Acara apa?"

"Ada lah. Acara kelas."

Justin mengangguk pelan. "Kalo gitu, mana bisa aku istirahat hari ini. Nanti gak ada yang jagain Mama."

Gue mengembuskan napas pelan lalu bangkit. "Ya udah. Kalo gitu Kakak mau siap-siap dulu, mau pergi."

"Se-pagi ini?" tanya Justin.

Gue mengangguk. "Kamu kalau capek, berhenti."

Justin menatap gue dengan bingung. "Berhenti apa?"

"Berhenti peduli ke mereka. Berhenti urusin mereka. Itu semua cuma buang waktu kamu aja."

Justin langsung bangkit berdiri dan menatap gue lelah. "Nggak ada yang buang waktu, Kak. Ngurus Mama itu suatu kewajiban buat aku, karena aku anaknya. Kakak ini sebenarnya kenapa, sih? Kenapa benci banget sama keluarga kita?"

Gue menatap Justin lekat. Mungkin pagi ini gue sudah membuat Justin kembali kecewa. Tapi gue bisa apa? Gue tak bisa berbohong pada Justin kalau gue tak benci mereka. Karena sejujurnya gue punya alasan sendiri yang tak pernah Justin tahu kenapa gue bisa sebenci ini.

"Kak. Aku mohon, balik lagi jadi Kak Yoona yang dulu. Kak Yoona yang aku kenal. Kak Yoona yang selalu jadi panutan aku," pinta Justin dengan lelah. Matanya sudah mulai memerah menahan tangis dan kecewa.

Ketika gue hendak menjawab, gue melihat Papa keluar dari kamar dan berdiri di depan pintu kamarnya sambil menatap gue dengan pandangan sulit terbaca.

Gue mengepalkan tangan menahan amarah, lalu kembali memandang Justin. "Kakak duluan." Gue bergegas masuk ke kamar.

Sejak Justin kecil, gue selalu menuruti apapun permintaan Justin. Karena gue selalu menyayangi Justin lebih dari diri gue sendiri.

Tapi untuk permintaan Justin yang satu ini, gue benar-benar sudah tak bisa menurutinya. Permintaan Justin agar gue kembali seperti dulu, menghilangkan rasa benci ini pada mereka.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jan 02, 2022 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

MemoriaWhere stories live. Discover now