MPD - 1 - Kehancuran

Start from the beginning
                                    

"Kakak cari makan dulu. Kau tunggu di sini, ya! Jangan keluar! Kalau ada apa-apa, sembunyilah di sudut sana." Telunjuknya mengarah ke sebuah area dengan tumpukan lemari besi yang saling bersilangan. Ia rasa, jika adiknya berlindung di tempat itu dan bergeming, tidak akan ada orang yang sadar.

Pemuda itu bangkit dan mengibaskan debu yang menempel di celananya sebelum mengeluarkan kantong minuman dari balik pakaian. Tak lupa diserahkan sebilah senjata agar adiknya bisa melindungi diri. Satu dari sepasang belati kembarnya.

"Ney, air ini kau saja yang pegang. Minumlah sepuasnya. Tidak usah pedulikan Kakak. Mengerti?"

Neysha menggeleng. Ia tahu, minuman di dekapannya adalah persediaan terakhir. Karenanya, mereka harus segera mendapatkan air bersih. Namun, ia juga tak menginginkan kakaknya harus mempertaruhkan nyawa untuk berebut makanan dan minuman yang dilemparkan pesawat-pesawat donasi pemerintah secara asal. Karena setiap itu dilakukan, kakaknya akan pulang dengan luka tambahan di tubuh hanya demi satu atau dua kerat roti untuk mereka makan.

"Hey, ayo senyum! Kali ini Kakak tidak akan terluka seperti sebelumnya." Pemuda itu kembali berjongkok di depan adiknya. Mencubit perlahan hidung mungil yang terlihat begitu menggemaskan.

Neysha menatap kakaknya ragu. Namun, kesungguhan di mata kecokelatan itu mampu menembus hatinya. Menentramkan kekhawatiran yang sedari tadi membelenggu. "Kak Alfian harus kembali." Neysha menarik napas perlahan. "Janji?!"

Bocah perempuan itu mengangkat kelingkingnya ke atas. Alih-alih menautkan kelingking di sana, Alfian justru mendekap Neysha erat.

"Kakak janji. Namun, kau juga janji harus diam di sini dan bersembunyi jika memang ada bahaya." Alfian membelai wajah Neysha yang pucat penuh kasih.

Rasa sesal bergelayut di hati. Umur adiknya baru akan delapan tahun bulan depan. Neysha sebenarnya anak yang sangat manis. Hidung mungil, mata bulat bercahaya, bibir tipis berbelah di tengah membuatnya tampak sangat memesona. Sayang rona kemerahan di pipinya sudah jarang terlihat berganti warna kulit yang semakin memucat karena jarang diterpa cahaya matahari.

Neysha mengangguk patuh. "Hati-hati, Kak."

Alfian mengangguk mantap. Kali ini ia tidak akan melakukan kesalahan yang sama seperti minggu lalu. Ia akan mendapatkan roti dan kantong minuman sebanyak yang ia mampu. Setelah ini, ia akan pergi dari sini. Ia tak bisa membiarkan Neysha terus ketakutan dalam balutan suara meriam dan guncangan akibat bom yang dijatuhkan musuh pemerintah.

Mungkin di dunia ini mereka harus menjalani kehidupan bagai neraka. Krisis pangan dan papan, bahkan udara yang mereka hirup tak terasa lagi kesegarannya. Bercampur aroma apek debu, larutan kimia, dan bahkan bau bangkai yang entah darimana sumbernya.

Alfian kembali berdiri. Satu tarikan napas, ia akhirnya melangkah keluar ruangan diiringi pandangan Neysha yang melihatnya menjauh dengan perasaan was-was.

Alfian menembus kepulan debu yang masih menguar brutal di udara. Bahkan menutupi hidung dan mulutnya dengan kain pun tak membantu banyak menyaring kotoran yang terus mendesak masuk.     

Pemuda berumur tujuh belas tahun itu terus melangkah ke sebuah lapangan luas berisikan gundukan bangkai mobil dan puing-puing bangunan. Aroma karat tercium pekat. Tempat pembuangan sampah non organik sekaligus menjadi tempat pembagian ransum harian.

Alfian melirik jam digital yang ada di tangan kirinya. Pukul tujuh malam, sesuai rencana semula. Dalam lima belas menit, akan ada dua pesawat kargo besar akan menumpahkan banyak roti dan kantong air ke tanah. Masalahnya, apakah roti yang akan diberikan cukup untuk memuaskan rasa lapar ratusan orang? Mereka sudah bergerombol dengan wajah-wajah garang siap merebut berapa banyak pun roti yang bisa diraup.

TERBIT  Deliverance x Dimensional FugitiveWhere stories live. Discover now