MPD - 1 - Kehancuran

4.7K 266 109
                                    


Setapak tujuan, dimulai dari secercah cahaya di tengah kegelapan.

Setapak tujuan, dimulai dari secercah cahaya di tengah kegelapan

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Bangunan utuh adalah sebuah kemustahilan di tempat ini. Hawa pengap menyergap dalam balutan debu yang membuat siapa pun yang melintas merasa tidak nyaman. Bumi hanya bisa meratapi kerusakan yang tak lagi bisa dikendalikan. Semua sudah hancur digerus karat, rudal, atau zat-zat kimia yang menebarkan bau busuk.

Matahari pun seolah enggan mengusahakan cahayanya menembus sisa-sisa atmosfer hingga memeluk bumi. Asap hitam begitu menggumpal di langit, seolah berkata pada cahaya untuk selalu menyingkir dan membiarkan gelap dan dingin setia temani diri.

Sesosok pemuda bertubuh ramping--tapi berotot--tengah berjalan menggendong seorang bocah kecil di punggungnya. Sangat hati-hati ia melintasi puing reruntuhan yang menyembul tak beraturan. Tak terhitung jumlah besi berkarat yang mencuat ke permukaan tanah. Dirinya harus benar-benar awas dalam setiap langkah, apalagi hari sudah semakin gelap. Sungguh, ia tak ingin benda-benda penuh racun itu melukai tubuh mereka.

Kain katun penuh tambalan dan noda sisa debu menyelimuti tubuh bocah perempuan yang mengeratkan pelukannya. Si Pemuda membiarkan tudung kepala menutupi wajah tampannya. Mata setajam elang dengan alis tegas itu sesekali mengerut saat berkonsentrasi memperhitungkan ke mana ia harus melangkah. Sepatu bot tebal bertali yang dikenakannya menjelajah bebatuan sebelum akhirnya ia tiba di sebuah bangunan bobrok beratap besi.

"Kakak rasa ini cukup bagus." Pemuda itu menyapukan pandangannya ke sekeliling. Suara desing meriam dan ledakan rudal kadang terdengar di kejauhan. Sesekali ada pesawat yang langsung terjatuh ketika cahaya biru menampakkan diri di langit. Namun, tampaknya mereka bisa beristirahat di sini untuk sementara.

Pemuda itu menurunkan beban di punggungnya dengan hati-hati, lalu membimbing bocah itu masuk ke dalam. Tumpukan batu beralaskan beberapa helai kain menjadi kursi sekaligus tempat tidur mereka malam ini. 

Ruangan temaram ini nyaris tak memiliki penerangan. Hanya sebuah lampu hampir padam menggantung lemah di pintu masuk. Penerangan  yang disediakan pemerintah untuk meminimalisir kejahatan di kegelapan pekat. Namun, pemuda itu merasa itu adalah tindakan yang sia-sia. Perampokan tetap saja terjadi. Semua karena rasa lapar yang mampu membuat manusia gila. Yah, setidaknya, ruangan tempat mereka berteduh tak menjadi gulita.

Pemuda itu sadar betul, udara malam sudah membuat ruangan ini cukup dingin. Mereka tak punya cukup kain untuk selimut. Seandainya saja ia bisa mendapatkan cukup banyak makanan untuk mengganjal perut agar tidak berisi angin.

"Kau lapar?"

Bocah perempuan itu menggeleng, tapi perutnya menjawab hal yang sebaliknya.

Pemuda itu tertawa pelan. Lesung pipit menghias manis di kedua pipinya. Ciri sama persis seperti yang dimiliki bocah perempuan di hadapannya. Bibir tipis yang sedikit pecah-pecah kekurangan cairan itu menyunggingkan senyuman penuh kasih. Dibelainya rambut pendek dikucir kuda milik anak kecil itu.

TERBIT  Deliverance x Dimensional FugitiveWhere stories live. Discover now