Kembali?

3K 196 19
                                    

Dara.

Sebenarnya aku gengsi jika harus pulang diantar Nata. Namun, menunggu ojol di kawasan militer seperti ini akan terasa seperti mencari jarum dalam jerami. Sulit. Bisa masuk dengan mudah karena tadi ada aku yang mempermudah akses, tapi sekarang? Kasihan kang ojol dipersulit nanti.

Dirumah Nata memang tidak ada siapapun, diapun tadi dari luar kan.

Nata mengeluarkan motornya. Motor matic yang selalu membawaku kemanapun, berdua, bersamanya. Bukan mobil mewah yang memiliki penyejuk udara tapi roda dua yang mengandung banyak kenangan.

"Gapapa kan aku antar pakai motor? Atau kamu mau naik mobil aja? Aku panasi dulu," dia sudah ancang-ancang memasukkan motornya lagi.

"Motor saja," kataku menghentikan gerakannya.

"Yasudah, ayo!" Setelah memastikan rumah terkunci, aku naik ke boncengan Nata dengan helm yang cukup aku rindukan. Lebih dari sebulan aku tidak lagi menumpangi motor ini, lebih dari sebulan aku tidak lagi mengenakan helm ini, lebih dari sebulan aku tidak lagi memandang pundak yang kokoh ini. Aku ingin memeluknya tapi aku takut dia kembali dingin seperti tadi.

"Kenapa?" Sayup aku dengar suaranya bertanya. Lima menit waktu telah berjalan, baru saja kami melewati lapangan tempat Nata biasa lari. Aku memandangnya sendu, kilas balik terasa menusuk.

"Apanya yang kenapa?" Aku mendekatkan tubuhnya ke samping kiri kepalanya lalu bertanya.

"Kenapa kerumah?" Pertanyaanya malah terdengar seperti kenapa aku kembali.

"Cuma rindu," aku mengaku.

"Kenapa memilih berakhir kalau tau bakalan rindu?" Tambahnya.

"Sejak awal kita nggak pernah memulai kalau kamu lupa, jadi seperti yang aku bilang, gak ada yang berakhir."

Sempat terjadi keheningan kembali, hanya sejenak sebelum Nata bertanya lagi.

"Bagaimana dengan Reno?"

"Gimana apanya?" Aku menyeringit bingung.

"Kalian terlihat dekat," ah ya pernah bertemu Nata sedang jalan berdua dengan Reno, lalu rumah Nata yang dekat dengan sekolah, jelas saja Nata pasti tau tentang Reno yang sering menjemputku.

"Biasa saja, kamu? Gimana dengan Rea?"

"Seperti yang kamu lihat? Mungkin?" Dia menjawab sedikit ragu, tapi tetap saja ada satu pukulan disana. Jika benar seperti yang terlihat, berarti mereka sangat dekat.

Aku memundurkan badanku ke belakang, mataku terasa buram tertutup oleh air mata. Hatiku terasa sakit saat mendengar penuturannya barusan.

Apa aku salah mengambil keputusan kemarin? Mengapa rasanya sesakit ini mengetahui Nata akhirnya bersama Rea? Kenapa ada penyesalan di hati karena melepas Nata? Kenapa aku merasa selama ini mungkin hubungannya Nata dan Rea terhambat olehku?

Dan akhirnya aku menangis, menangisi Nata yang kini sepertinya benar-benar sudah pergi. Nata yang aku kenal tidak lagi disini.

***

Nata.

Karena merasa jenuh di rumah, gue memilih bermain sejenak ke rumah Zidan. Jarak rumahnya hanya beberapa blok dari rumah gue. Semenjak libur dan tidak lagi punya rutinitas bersama Dara, gue jadi lebih sering main ke sini.

Zidan sama seperti gue, tahun ini kami akan mendaftar di akademi angkatan udara. Biasanya, gue dan dia sering latihan fisik bersama dan anak-anak komplek lainnya.

"Masih mau jadi pilot pesawat tempur?" Dia bertanya.

"Itu cita-cita bokap gue," bukan jawaban yang jelas sebenarnya. Tapi begitulah, sebagai satu-satunya anak lelaki di keluarga, banyak tuntutan bersarang di pundak gue.

BAMANTARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang