Waktu Berlalu.

2.4K 201 4
                                    

Semuanya benar-benar tidak terasa. Waktu berlalu dengan cepat, aku dan Nata masih sama. Dalam ketidakjelasan, tidak-tidak kami baik, tapi hanya tidak in relationship.

Sebentar lagi Nata akan menghadapi ujian akhirnya. Tandanya dia sudah akan tamat dari sekolah ini. Aku pernah bertanya,

"setelah ini kamu mau apa?" Ya panggilan kami sudah berubah menjadi aku-kamu. Awalnya sulit namun seiring berjalannya waktu kini sudah lebih nyaman.

Dia menjawab, "tidak tau."

Dahiku menyeringit, aku ingat waktu itu aku sedang menemaninya lari pagi di lapangan dekat rumahnya. Rutinitas sabtu kami.

"Kenapa?" Kataku bertanya lagi. Aku tau, aku tau dia tidak diberi pilihan. Tapi aku ingin tau apa keinginan sebenarnya.

"Tidak tau saja." Dia berlari mendahuluiku, cara menghindar yang sangat tepat karena aku tidak pernah bisa mengejarnya.

"Nata!" Teriak-ku kuat merasa kesal dengan dia yang selalu menghindar.

Aku memilih duduk di ayunan yang tersedia, jadi tempat ini lebih sering dibilang 'gor' dibanding lapangan biasa. Karena disini lengkap, ada taman, ada lapangan sepak bola, bulu tangkis, basket, dan kolam renang.

Aku menunggunya selesai berlari, durasi dia berlari bersamaku lebih singkat dibanding dia sendiri. Katanya takut aku menunggu terlalu lama, padahal aku tidak masalah.

Setelah selesai, terakhir dia berjalan santai ke arahku. Mengatur napasnya menjadi lebih ringan. Aku memberikan sebotol air mineral yang biasa dia bawa. Dia meneguknya hingga tandas, lalu memberikannya lagi padaku. Dia mengambil sapu tangan yang berada di tanganku dan mengelap keringatnya. Sialnya sifat jailnya tidak pernah hilang. Setelah selesai, sapu tangan yang basah oleh keringat itu dia sapukan ke wajahku.

"Nata sialan!" Umpatku merasa sangat kesal.

"Hahaha, pemarah banget. Mulut kamu tu minta disentil ya, hobi banget ngumpatin orang!" Dia menegurku berulang kali, ya bagaimana aku dibuat kesal jadi wajar saja aku mengumpat.

Aku mendengus kesal.

"Jangan marah dong." Bujuknya, aku malas meladeninya kali ini.

"Hey..." Sial! Dia mengesampingkan helaian rambutku yang menutupi sebagian wajahku dari pandangannya dan menyelipkannya di telinga.

"Nanti kalau aku jerawatan gimana?!" Kataku mengingat seberapa kotornya sapu tangan itu. Hey aku bukan penjijik atau bagaimana, tapi aku hanya takut wajahku yang sudah pas-pasan ini semakin hancur.

"Ya gapapa dong, ada jerawat ya di obatin."

"Kalau penuh satu muka? Pasti kamu bakalan jijik sama aku!" Kataku terus mendebatnya.

"Gak bakal. Aku sampai sekarang masih sama kamu kan bukan karena muka kamu yang mulus. Mau jerawat satu muka juga aku bakal sama kamu terus! Udah ah geli aku mau sok romantis gini!" Awalnya aku tersenyum malu-malu mendengar bujukannya. Tapi akhirnya aku malah tertawa terbahak-bahak. Benar, memang bukan dia sekali yan berkata manis seperti itu.

"Hahahaha, aduh sakit perutku. Kamu lucu banget."

"Udah dong!" Pintanya tapi aku tetap tidak bisa berhenti.

Sial, sudah ke berapa kali aku mengatakan sial hari ini. Dia mendekat dan mengapit kepalaku diketeknya.

"Nata ampun! Bauuu!" Seriusan orang mau seganteng apapun tetap aja bisa bau. Apalagi habis lari gini.

BAMANTARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang