Ya, kami hanya akan menikah.

Diam-diam, aku berjanji pada diriku sendiri. Jika perempuan itu hadir lagi, aku akan membiarkan Ray pergi kepadanya. Aku akan meninggalkan Ray, dan mengizinkannya bersatu kembali dengan kekasih hatinya.

Ya, pernikahan ini hanya sementara, kan?

Setidaknya bagiku, begitu. Jadi, aku tak perlu terlalu memikirkannya terlalu berat. Kami akan aik-baik saja.

Ah, mau tidak mau, saat memejamkan mata seperti ini, pikiranku melayang ke hari itu. Saat lelaki itu tiba-tiba membicarakan tentang pernikahan.

***

"Kamu gila, Mas?" aku setengah berteriak.


Tapi kemudian buru-buru aku perbaiki intonasiku. Aku tidak mau pengunjung café yang lain di sekitar meja kami mendengar apa yang sedang kami bicarakan. "Kamu gila?"


Mas Ray yang tadi mendadak datang ke depan kelas kuliahku, sedikit memaksa agar aku mengikutinya. Katanya tadi ada hal penting yang ingin didiskusikan denganku.

Tumben sekali.

Tidak biasanya dia memaksa seperti ini sampai aku harus bolos kuliah di jam terakhir.


Dia mengajakku ke Café yang tidak biasanya kami datangi. Tempatnya lebih private ada sekat-sekat kecil di setiap set meja kursi. Namun sekatnya tidak terlalu tinggi apalagi sampai sepenuhnya menutupi, karena aku masih bisa melihat wajah pelanggan yang duduk di meja yang lain.


Café yang kami datangi terlihat sepi. Tapi tidak bisa membuatku merasa senang atau lega. Malahan, pesanan es krimku jadi tidak menggugah seleraku lagi setelah mendengar apa yang diutarakan mas Ray barusan.

Rupanya, hal mendesak itu benar-benar di luar dugaanku.


Dia mengajakku untuk MENIKAH dengannya.


"Kamu gila, apa?" ulangku untuk ketiga kalinya karena tidak juga mendapatkan respon berarti.


"Nggak, aku serius. Kamu lho sudah cukup umur, Dek. Apanya yang gila, sih? Usia 22 tahun sudah cukup dewasa untuk menikah. Sudah memenuhi syarat." Dia menyeringai.


Aku bersungut-sungut, "Memangnya, cuma karena itu aja?"


"Aku, lelaki baik-baik, kan? Aku pernah jahat sama kamu? Aku pernah membunuh orang? Apa aku ninggalin sholat? Zakat? Puasa? Minum-minuman keras? Zina? Judi?"


"Nggaaaaak," balasku kesal.


"Kamu, perempuan baik-baik, kan? Kamu masih, sholat, kan? Zakat juga masih ditunaikan, bukan? Kamu masih puasa kan pas bulan ramadhan?"


"Nggak sepenuhnya. Aku kadang juga ngga sholat, dan nggak puasa. Soalnya lagi halangan," jawabanku membuat dia mendelik, alih alih malah membuatku semakin tertawa lebar.

Nayyara, Lost in MarriageWhere stories live. Discover now