part 5

41 4 2
                                    

Happy reading😘

   Setelah selesai makan malam, Rara menatap Mamanya. Dia melihat sosok wanita yang sangat tegar dalam diri Mamanya. Mama yang tetap bertahan meski ia harus menahan rasa sakit akibat perbuatan papa. Mama yang tidak pernah menunjukan rasa sakitnya kepada Rara, sekalipun Rara bertanya apakah Mama baik baik saja. Mama selalu berkata "Mama nggak papa sayang".

"Kamu kenapa Ra lihatin Mama?". Mama tersadar bahwa putrinya sedang memandanginya.

"Mah..." Sambil memegang tangan Mamanya.

"Hmm...?"

"Mama nggak usah bohong sama Rara, Rara tau apa yang mama rasain sekarang, kenapa ma? Kenapa?" Tak sengaja air mata menetes dipipi Rara.

Mama memeluk putri kesayangannya itu. Walaupun seandainya ia harus pergi, ia hanya ingin bersama Rara, bersama sumber kekuatannya.

"Sayang, ini soal yang berat buat kamu. Mestinya Rara nggak sampai tahu masalah ini. Mama minta maaf sayang." sebutir kristal bening jatuh mulus tanpa disangka sangka.

Mama diam seribu bahasa saat Rara bertanya tentang apa yang terjadi.

Flashback on

Malam dimana terjadi pertengkaran hebat mama dan papanya, Rara tak sengaja mendengar. Kebetulan saat itu Rara hendak ke dapur untuk mengambil cemilan. Saat melewati kamar kedua orang tuanya, Rara mendengar barang pecah. Rara kaget dan lebih kaget lagi saat sumber suara itu berasal dari kamar orang tuanya. Ia mendengar Mama menjerit, menangis, terdengar sangat pilu.

Karena kamar Rara dan orang tuanya cukup berjauhan, jadi saat didalam kamar Rara tidak mendengar pertengkaran orang tuanya. Ia berfikir bahwa selama ini hubungan orang tuanya baik baik saja.

Namun kecurigaan Rara terhadap hubungan kedua orang tuanya mucul ketika Papa yang jarang pulang kerumah. Pergi pagi pulang pagi lagi. Jarang ada waktu untuknya. Menjadi orang yang lebih sensitiv, kasar, suka marah marah, hampir setiap papa pulang selalu bertengkar dengan mama.

Malam itu menambah keyakinannya tentang hubungan kedua orang tuanya setelah ia mendengar pertengkaran hebat itu. Namun Rara tidak terlalu mendengar apa yang mereka ributkan. Rara hanya mendengar suara tangisan mamanya. Ia tak berniat menguping lebih lama karena takut jika tiba tiba papa atau mamanya keluar. Ia langsung kedapur dan mengambil cemilan.

Flashback off

"Tuhaaaaaannnnnnnn" Teriak Rara dalam pelukan mamanya.
"Kenapa orang yang baik, orang yang tulus selalu tersakitiii? Kenapa Tuhannn? Kenapa dongggggg?"

Mama semakin kuat memeluk putrinya.

"Sayang, kita ini orang yang taat beribadah." bisiknya. "Kita selalu mendekatkan diri kepada Allah kan? Bukan begitu caramu mengadu kepada Allah Nak. Dengar kan kata kata mama?"

Rara mendengar jelas semua kata kata mama. Ada renungan singkat yang sempat dilakukannya. Ya, dia selalu mendekatkan diri kepada Allah. Dalam saat saat lara begini, tak semestinya dia kalap bagai orang kehilangan akal. Allah toh menyaksikan seluruh perbuatan manusia. Allah tak pernah absen mengawasi setiap perilaku setiap hamba-Nya. Mustahil Allah lengah menjaga Rara. Mustahil Allah akan diam membiarkan papa merajalela dengan kesewenangannya. Akan datang keadilan yang bersumber dari-Nya.

"Istighfar sayang" bisik mama.

Rara membaca istighfar dengan khusyuk. Maka sesuatu terasa nyaris meledak didadanya. Kini sirna sudah. Tinggal rasa pasrah kepada Sang Maha Pencipta. Kepada-Nyalah keadilan diharapakan.

"Anak mama!" cetus mama.
"Jika mama ditanya siapa yang paling mama kasihi didunia ini, Raralah jawabannya. Buat Mama apapun boleh terjadi, asalkan Rara tetap menjadi milik mama".

Rara merasa isi dadanya tersedot keluar hilang entah kemana. Dipeluknya mama sekuat tenaganya. Ia bagai ingin menyatukan dirinya dengan mama.

Rara memberanikan diri bertanya suatu hal yang selama ini mengganjal hatinya.
"Ma..." masih didalam pelukan mamanya.

"Iya sayang"

"Sebenarnya papa pergi kemana sih Ma tiap malam?"

"Kata papah lembur dikantor sayang" ada rasa sesak saat Mama harus berbohong kepada Rara.

"Masa lembur tiap hari sih?" protes Rara

"Iya sayang, udah malem kamu tidur ya, besok sekolah loh" sembari mengelus kepala putrinya.

"Iya deh, mama jangan sedih lagi oke" dengan gaya centilnya, Rara berusaha membuat mamanya tersenyum

"iyaa" jawab mama dengan tersenyum

Akhirnya Rara bisa melihat senyum mama, walau dibalik senyuman itu ada rasa perih yang tidak bisa diungkapkan.

Rara pergi menuju kamarnya.
Merebahkan tubuhnya diatas kasur, dengan otak yang penuh dengan pertanyaan.

"Saat aku mulai jatuh cinta, apa aku harus siap merasakan sakit juga? Sama seperti mamakah?

"Apa aku harus selalu menutup hatiku untuk laki laki?"

"Apakah aku sudah siap?"

Rara melanjutkan dialog hatinya.
"Ah sepertinya belum"

Batin Rara saling beradu, dia masih berpikir panjang mengenai perihal rasa yang berubah.

"Tapi bukankah cinta itu rahmat dari Allah. Agar kita bisa lebih bijak dalam kehidupan ini. Agar kita bisa merasakan bagaimana itu cinta, lantas kita berusaha mempunyai perasaan seperti itu kepada Allah. Karena rasa tak bisa diterangkan dan tak bisa diajarkan." lanjut hati Rara

Jam dinding berdentang, Rara menutup mulutnya yang menguap terus menerus. Ditariknya selimutnya, bersiap untuk tidur.

***
Jangan lupa di vote ya readerku semuanya. Comment, kritik, sarannya semua aku terima. Karena masih amatir banget untuk menulis novel. Terima kasih sudah mau mampir ke cerita aku. Ditunggu part selanjutnya yaaaa gaissss!!

AURORATahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon