4. Menjaga dari Kejauhan

Start from the beginning
                                    

"Bapak ... Bapak tidak punya siapa-siapa lagi di dunia ini, yang bisa Bapak mintai tolong untuk melakukannya selain kamu." Bapak menghela napas panjang, mengusap sudut matanya dengan telapak tangan begitu saja. "Jadi, Bapak mohon, seberapa pun jauh kamu akan melangkah pergi dari hidup Sairish, tolong tetap melihatnya dari kejauhan. Tolong perhatikan, jaga, dan bantu dia jika suatu saat dia tersandung dan jatuh. Sekalipun bukan kamu yang menolongnya secara langsung."

Akala menunduk, lalu mengangguk kecil. Tidak berkata apa-apa, tapi tentu ia menyetujui permintaan itu, ia akan melakukannya.

"Dulu, sejak masih kecil, hingga beranjak remaja, Sairish hanya akan menaruh kepalanya di pangkuan Bapak dan menangis jika mengalami kesulitan. Hanya menangis, tapi setelah itu ceria lagi, seperti tidak terjadi apa-apa, tanpa memberi tahu Bapak tentang apa yang membuatnya sulit, apa yang membuatnya menangis." Suara Bapak terdengar gemetar, tangannya mencengkram ujung syal. "Jadi, sebelum Bapak benar-benar pergi, dan Bapak masih bisa meminta tolong, Bapak minta kamu tetap menjaganya—walau dari kejauhan, karena Sairish tidak akan pernah datang kepada kamu untuk mengatakan kesulitannya dan meminta kamu menolongnya."

***

Setelah makan malam, Akala meminta izin untuk mandi, lalu kembali mengenakan pakaiannya di kamar Sairish. Kamar itu, adalah kamar yang Sairish tempati sejak kecil, hingga beranjak remaja, dewasa, dan akhirnya kosong karena Akala membawanya pergi untuk tinggal bersamanya.

Setiap kali menjenguk orang tua Sairish, dulu kamar tidur itu yang mereka jadikan tempat bermalam bersama. Dulu. Ya, dulu. Akala bahkan lupa kapan terakhir kali mereka tidur bersama di kamar itu.

Kini, ia duduk di kursi kayu yang menghadap pada sebuah meja belajar yang menyatu dengan dua papan rak buku; bagian atas terdapat beberapa frame berisi foto-foto Sairish dari masa kecil hingga beranjak dewasa, sementara di bagian bawah diisi oleh buku-buku yang entah tentang apa.

Akala menyusuri beberapa frame, tersenyum melihat foto-foto Sairish di sana. Foto yang menarik perhatiannya pertama kali adalah foto Sairish di sebuah pusat perbelanjaan yang merupakan hasil tangkapannya, saat pertama kali mereka berkencan, dan ... malam itu juga, di kencan pertama mereka, Akala melamarnya.

Sairish tampak cantik malam itu. Dan memang selalu cantik di matanya.

Tangannya berhenti di foto ke tiga, di mana Sairish masih mengenakan seragam SMP dan tersenyum ke arah kamera. Senyum itu, ia masih mengingatnya, senyum yang sama, yang diberikan padanya, ketika pertama kali mereka bertemu. Hari Senin, keduanya sama-sama berlari di koridor sekolah menuju lapangan upacara dan dihukum bersamaan karena datang terlambat.

Di antara teriknya matahari selepas upacara, mereka bersama-sama menjalani hukuman karena datang terlambat. Senyum itu, dari gadis berseragam SMP yang mengangsurkan sebotol air mineral kepadanya sesaat sebelum beranjak dari lapangan upacara, yang masih diingatnya sampai hari ini.

Tangan Akala bergerak turun, telunjuknya menelusuri jejeran buku di papan bawah. Buku-buku usang tebal yang mungkin Sairish anggap masih sangat penting karena masih disimpan dengan baik hingga saat ini. Lalu, telunjuknya terhenti di sebuah sisi buku berwarna abu-abu polos, yang entah kenapa sangat menarik perhatiannya.

Akala melirik ke arah pintu kamar yang terbuka sedikit, memastikan tidak ada orang di luar sana. Dulu, awal mereka menikah dan menginap di kamar itu, ia pernah menemukan buku itu satu kali, dan Sairish mati-matian melarang Akala untuk membukanya. Lalu, buku itu disembunyikannya rapat-rapat. Dan entah bagaimana, buku itu bisa kembali berjajar bersama deretan buku lainnya saat ini.

Tangannya menarik buku itu keluar. Sejenak, ia menepuk permukaan depan buku untuk menyingkirkan debu tipisnya, lalu membuka halaman pertama dan menemukan tulisan 'Tentang Akala Sangga'.

7th AnniversaryWhere stories live. Discover now