Wattpad Original
There are 2 more free parts

4. Menjaga dari Kejauhan

72K 8.6K 1.9K
                                    

Pesan terakhir yang Akala kirimkan sebelum ia mematikan ponselnya karena sejak tadi ibunya terus menghubunginya tanpa henti adalah,

Jangan ganggu Sairish, Mi. Jangan sakiti Sairish seandainya Mami nggak mau Akala pergi.

Akala menyesap teh yang sudah mulai dingin, yang tadi disajikan Ibu di meja rotan halaman belakang untuknya yang tengah menemani Bapak bermain catur. Permainan caturnya baru saja usai, yang berkali-kali dimenangkan oleh Bapak.

Memang, sejak dulu Akala jarang sekali berhasil mengalahkan Bapak, dan walaupun tahu hal itu akan terjadi, ia tetap bersedia menemani pria setengah baya itu untuk bermain catur selama berjam-jam, di halaman belakang, duduk di kursi rotan, menikmati waktu sore sampai berubah larut.

Angin sore yang mulai dingin menyapa mereka, menimbulkan bunyi gemeresak ranting dan daun dari pohon jambu air di halaman belakang. Tidak boleh ada asap rokok di antara keduanya saat melakukan rutinitas itu, Bapak sudah dilarang merokok sejak kondisi kesehatannya menurun dan Akala tidak pernah melakukannya selain dalam keadaan benar-benar tertekan.

Hari ini, Akala datang sendirian ke Bogor, ke kediaman mertuanya untuk menjenguk keadaan mereka. Beberapa kali ia mengatakan, "Sairish lagi sibuk banget di kantornya." Ketika Bapak dan Ibu bertanya keberadaan anak perempuannya itu, yang seharian ini tidak bisa Akala hubungi.

Langit sore berubah gelap, dan Ibu sudah menyalakan lampu teras belakang, lalu aroma bumbu dan minyak panas dari arah dapur tercium kemudian. Ibu melarang Akala untuk pulang sebelum makan malam. Dan Akala tidak pernah menolak itu.

"Dokter bilang, Bapak tidak boleh lagi kelelahan. Bapak tidak boleh bepergian jauh," ujar Bapak, membuat Akala menoleh. "Padahal, Bapak rasa, Bapak tidak selemah itu."

"Bapak masih terlihat kuat kok." Akala mengangguk. "Tapi dokter pasti tahu yang terbaik untuk Bapak."

Bapak ikut mengangguk-angguk, berdeham kencang dan membuang napas berat, lalu membenahi letak syal merah marun yang melingkari lehernya, yang dikenakan sejak tadi. "Bapak juga disuruh pakai ini kalau mau diam di luar." Pria itu memegang syalnya. "Sairish yang belikan."

"Aku tahu ketika Sairish beli syal itu." Akala tidak mengantar Sairish untuk membelinya tentu saja, tapi ia melihat paper bag berisi syal itu di atas meja makan sepulang kerja beberapa minggu yang lalu.

"Sebagai seorang ayah, kita pasti akan selalu merasa ... anak perempuan kita adalah anak perempuan terbaik di seluruh dunia." Bapak tersenyum, menatap Akala.

Akala balas tersenyum. "Tentu." Ia memiliki Sima yang selalu menjadi kebanggaannya. Walaupun sampai saat ini, ia belum bisa membuat Sima beruntung menjadi seorang anak dari ayah bernama Akala Sangga.

"Tapi, Bapak tidak akan pernah menutup mata. Seandainya ada kesalahan yang Sairish lakukan, Bapak tidak akan membenarkan hal itu tentu saja." Bapak menatap kosong ke arah langit, ada hal yang tengah mengalir deras di dalam kepalanya. "Jadi kamu tidak usah khawatir, Bapak tentu saja tidak akan membelanya, seandainya dia mengecewakan kamu."

"Sairish nggak pernah melakukan kesalahan apa pun."

"Ya ...." Bapak mengangguk. "Seandainya," gumamnya dengan suara berat, lalu berdeham sebelum kembali melanjutkan ucapannya. "Seandainya suatu saat dia melakukan kesalahan, Bapak tidak akan menyalahkan kamu, seandainya kamu ... harus melepaskannya." Saat mengatakannya, mata Bapak berkaca-kaca. Akala mengerti saat ini, apa yang tengah Bapak pikirkan sejak tadi. "Tapi, satu permintaan Bapak. Seandainya suatu saat nanti Bapak pergi, dan melepaskan Sairish menjadi satu-satunya pilihan kamu, tolong ... tetap lihat dia dari kejauhan."

Tangan Akala yang kaku berhenti di sisi cangkir, menatap pekatnya teh yang tersisa sedikit. Lama ia bergeming, sampai Bapak kembali melanjutkan ucapannya.

7th AnniversaryWhere stories live. Discover now