Tujuh belas

7.6K 979 48
                                    

Jena mengerjapkan matanya. Tangannya meraih ponsel yang ada di meja nakas untuk melihat waktu. Lima empat lima. Dia memaksakan tubuhnya bangkit dari tempat tidur karena paham benar dia harus menunaikan solat. Lalu dia menyadari bahwa Asha sudah tidak ada dalam kamar berukuran sedang itu, sementara Alya masih terlelap tidur.

"Ya, bangun solat." Dia mencoba membangunkan Alya.

"Lagi halangan gue."

Setelah itu dia bangkit dan membersihkan diri. Selesai melakukan kewajibannya, dia keluar mencari sosok Asha. Apartemen Alya tidak besar, namun memiliki balkon kecil dan juga jendela yang menghadap ke pusat kota. Persis di bawah jendela, Alya meletakkan kursi panjang dengan bantalan empuk. Dia bilang itu tempat favoritnya untuk melihat lampu kota jika malam tiba. Asha duduk disana dengan segelas kopi ditangannya. Kaki Asha dia naikkan ke atas kursi sambil setengahnya dia peluk sendiri.

"Morning."

"Hai Je." Dia menghirup kopi dari cangkirnya. "Masih ada tuh di coffee maker." Kepala Asha menggendik ke arah dapur kecil Alya.

"Lo tahu gue selalu lebih pilih teh daripada kopi." Jena duduk di sofa satu dudukan dekat dengan tempat Asha duduk. Dia memutuskan hanya akan diam saja, sadar benar semalam dia sudah mengutarakan apa yang ingin dia sampaikan pada sahabatnya ini.

Asha seperti paham apa arti tatapan mata Jena. Lalu dia mendesah perlahan. "Maafin gue Je. Jangan marah dong."

"Gue bukan orang suci, tapi...mulai berhitung deh. Udah subuhan belum?"

"Udah." Asha meringis sendiri, mengerti jika besar kemungkinan amalannya tidak akan diterima sampai beberapa puluh hari kedepan. Ya, itu hukumannya atas perbuatannya semalam.

"Melakukan sesuatu dengan sepenuh hati, tapi lo paham banget itu sia-sia. Nggak enak kan rasanya?"

Asha diam saja. Pandangannya sudah menerawang ke luar jendela.

"Sama seperti apa yang sedang lo lakuin sekarang Sha. Sepenuh hati lo masih ingat dia, tapi lo juga paham kalau itu sia-sia."

Lalu titik air mata itu meluncur. Putaran ingatan apa yang terjadi kemarin di factory seperti berulang lagi. Bagaimana sosok itu makin matang dan dewasa. Atau suara dalamnya, atau wangi maskulinnya. Dan tangan besarnya yang diam-diam Asha perhatikan saat mereka sedang meeting bersama. Betapa dulu hanya tangan itu saja yang menggenggamnya.

"I don't know how to stop Je." Asha menarik nafas panjang seolah ingin menenangkan dirinya sendiri. "Lo tahu? Dia bukan pacar pertama gue, bukan. Gue punya lima mantan. Dulu, gue gampang banget jatuh cinta, itu menurut Mas Galih. Setiap ada yang dewasa, baik dan perhatian sama gue, kalau cowok itu menyatakan cinta pasti gue terima. Tapi, setiap kali gue berhubungan gue nggak pernah berhenti mencari. Mencari kekurangan mereka, mencari alasan agar gue bisa pergi dari mereka. Dalam hati gue rasanya belum lengkap. Gue selalu pingin lebih. Lebih dewasa, lebih perhatian, dan lain sebagainya."

Asha tersenyum miris. "Sampai gue ketemu Tanandra. Tata. Dia bukan laki-laki paling ganteng. Yang paling ganteng itu Samudra. Mukanya wow, nggak bercela. Tapi Tanan, buat gue berhenti. Entah kenapa gue berhenti mencari. Benar-benar berhenti. Gue jatuh cinta dalam arti sebenarnya. Gue cinta semuanya, bahkan kenyataan tentang kondisi keluarganya yang complicated. Gue nggak perduli. Gue cuma mau Tanandra. Karena itu, waktu dia ngelamar gue online." Asha tertawa sejenak. "Gue langsung bilang iya."

"Dulu, gue dan dia memang LDR-an. Gue masih nerusin S2 disini, sedangkan dia sedang meniti karirnya dan ditugasin ke Europe sana. Tapi itu semua benar-benar nggak buat gue goyah atau cari orang lain disini. Nggak sama sekali. Gue tungguin dia Je, sekalipun kita LDR."

Love, Hate and Something in between (TERBIT)حيث تعيش القصص. اكتشف الآن