Empat belas

7.7K 1.1K 42
                                    

Dia sudah mengisi perutnya dengan sedikit makanan dan teh hangat. Perasaannya sedikit membaik setelah menangis di kamar mandi tadi. Tenang saja, dia sudah mencuci wajahnya dan menghapus semua jejak tangis yang ada. Jadi tidak akan ada yang tahu. Masih pukul sebelas tiga puluh, jadi dia sudah kembali ke ruangan dan duduk disana. Lalu Aji dan Tanandra masuk ke ruangannya tiba-tiba.

"Sha, saya sudah selesai antar Pak Andra untuk factory tour."

Tubuhnya berdiri. "Terimakasih atas kunjungannya. Aji akan antar Bapak ke lobby."

Tanandra masih berdiri menatap wajah cantik itu. "Terimakasih atas meeting hari ini. Selamat siang."

Asha hanya diam dan kembali duduk lalu sibuk dengan laptopnya.

'Ya, pasti mereka putus tidak baik-baik.' Ujar Aji dalam hati melihat ekspresi Asha.

Aji dan Tanandra berlalu dari ruangan Asha.

"Saya mau Jumatan, yang terdekat dimana ya?"

"Bareng saya saja Pak. Bapak taruh tas Bapak disini saja. Karena masjidnya masih ada di area factory."

"Oke." Tanandra meletakkan tas laptop dan membuka jasnya. Aji menerima barang Tanan lalu membawanya ke ruangan Asha. "Loh mau dibawa kemana?"

"Lebih aman di ruangan Asha Pak. Ruangan staff luar siapapun bisa lalu lalang." Aji sudah masuk ke dalam ruangan berkaca itu lalu meletakkan jas dan tasnya di kursi dekat dengan tempat Asha duduk.

Lalu mereka beranjak keluar.

Pintu office area sudah ditutup. Masih ada Tia dan Ririn yang sedang berada di ruangan staff. Asha bisa melihatnya dari ruangannya sendiri. Matanya menatap jas dan tas Tanandra dihadapannya. Wangi laki-laki itu menguar. Kemudian, tanpa bisa dia cegah air matanya meleleh lagi. Setelah sekian lama, dia butuh udara.

Kakinya melangkah cepat-cepat menuju smoking area. Tempat itu sepi karena pegawai pabrik sudah akan berada di masjid atau restoran karena memang jam makan siang hari ini tiga puluh menit lebih panjang daripada hari lainnya. Benar saja dugaannya. Smoking area itu kosong. Jadi dia duduk disitu menyalakan rokok Lando yang tadi dia sambar dari mejanya. Dia akan ganti nanti. Ini sudah bertahun-tahun lamanya dia tidak merokok. Jadi hisapan awal dia terbatuk-batuk, tapi dia membutuhkan ini. Atau mungkin ini hanya sugestinya saja? Dia tidak perduli.

Pertemuan dengan Tanandra benar-benar menguras emosinya, membangkitkan semua kenangan lama. Laki-laki itu masih sangat mempesona. Dada bidang itu, suaranya yang dalam, wangi tubuhnya, persis sama seperti yang pernah dia ingat dulu. Dia berusaha menghentikan tangisnya, tapi gagal. Air mata itu menetes saja. Dadanya sesak karena asap rokok yang dia hisap. Tapi benda itu bisa mengalihkan perhatiannya sejenak. Dia seperti terbakar dari dalam. Entah karena asap rokok itu atau karena emosi dalam hatinya.

"Sha?"

'Suara itu? Kenapa dia ada disini?' Wajahnya menoleh dan terkejut karena ada Radit dibelakangnya.

Dia berdiri, memegang rokok sementara jejak air matanya masih tersisa. 'Sh**. Kenapa bolak-balik gue ke-gep nangis sih sama dia.'

"Hai. Kamu ngapain disini?"

"If you have a bad day, smoking is not a solution." Radit jelas melihat luka lebar di mata Asha. Luka yang sama seperti ketika dia menemukan Asha mandi hujan kemarin dulu. Tapi lagi-lagi, dia tidak ingin Asha merasa tidak nyaman karena dia saat ini berempati.

"Kamu nggak jawab pertanyaan saya."

"Saya ada meeting dengan Aji di PT Sanofa. Ini benar nggak tempatnya?"

Love, Hate and Something in between (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang