Delapan

8.5K 1K 41
                                    

Alamat yang Asha sebutkan letaknya dipinggir kota. Bahkan sudah keluar Jakarta. Kenapa apartemennya jauh begini? Radit menahan diri untuk tidak bertanya apapun. Termasuk alasan Asha menangis tadi. Dia mengusir rasa penasarannya pergi dan tidak mau Asha salah paham lagi padanya.

"Saya turun di lobby aja."

Mata Radit langsung menatap tajam Asha dan terus melajukan mobilnya ke arah basement.

"Kamu pikir saya takut kalau kamu lihatin saya begitu?"

Radit masih diam saja. Perpaduan yang dia rasa dan pertanyaan-pertanyaan dikepalanya sungguh mengalihkan pikirannya sesaat. Beberapa menit kemudian mereka turun dari mobil dan berjalan beriringan. Sedikitnya Radit merasa senang karena Asha memutuskan untuk mengenakan jaket yang dia sampirkan di pundak tadi di tengah perjalanan. Mereka sudah sampai didepan pintu apartement Asha.

"Saya sudah sampai." Dia melepaskan jaket itu lalu menyerahkannya ke Radit. "Maaf basah dan terimakasih."

"Wow, you are so rude. Oke." Radit menggelengkan kepalanya kesal.

"Ya terus kamu mau saya omongin apa?"

Karena kesal Radit berbalik badan meninggalkan Asha.

"Nanti kalau kamu saya ajak masuk ke dalam kamu berpikir saya gampangan."

Langkah Radit berhenti. Dia berbalik lagi. "You are rude dan tidak mudah memaafkan. Bukan perpaduan favorit saya." Dia membalik badannya lagi dan mulai melangkah.

Asha menggigit bibirnya. Kalimat Radit sungguh mengusiknya. Lalu nafasnya berhembus kasar. "Radit tunggu dulu."

Tahu laki-laki itu tidak menghentikan langkahnya, dia menyusul. "Saya panggil kamu sekali lagi kalau kamu terus jalan saya nggak akan panggil lagi. Radit!"

Dia ingin terus berjalan saja, memberi pelajaran pada gadis dibelakangnya ini. Tapi otomatis kakinya berhenti mendengar ancaman itu.

'Gilaaa gue murahan banget. Hrrrgghhh.' Radit bersumpah serapah dalam hati namun tubuhnya berbalik juga.

Asha berdiri tidak jauh dari hadapannya. Penampilan basahnya sungguh membuat Radit sedikit berdebar. 'Sedikit apa banyak Dit?'

Lalu gadis itu berbalik dan berjalan kembali ke pintu apartemennya. "Kamu panggil saya cuma buat ngetes pendengaran saya atau gimana?"

"Kalau mau masuk ikutin saya. Kalau kamu orangnya baper-an silahkan pulang."

'What?' Sungguh yang lebih aneh lagi itu dirinya sendiri. Kenapa bisa setelah sikap kasar Asha dia masih saja mengikuti gadis itu untuk masuk kedalam apartemennya.

***

Matanya memandang berkeliling. Apartemen mungil sederhana dengan satu kamar saja itu didominasi warna putih dan kayu. Kamar pribadi Asha terpisah dari ruang tengahnya yang menjadi satu dengan dapur kecil dan meja makan berukuran kecil juga. Wangi vanilla dan mint menguar. Mungkin ini wanginya. Setelah beberapa saat Asha keluar dengan rambut yang tergerai setengah basah dan baju yang lebih santai. Sudah ada secangkir teh hangat di meja. Mereka duduk di sofa yang sama karena memang hanya ada satu sofa panjang yang empuk di area itu.

"Apartement kamu bagus, nyaman."

"Nyindir saya? Saya nggak gampang minder sih."

"Saya paham kita baru kenal hari ini. Tapi beneran kamu itu...hrrrghh. Menyebalkan. Dengan semua pikiran buruk kamu soal saya."

"Terus, kalau saya menyebalkan, kenapa kamu masih disini?"

'Siaaal.' Tidak ada yang salah dengan kalimat Asha, yang salah memang dirinya sendiri. Kenapa juga dia masih disini.

Love, Hate and Something in between (TERBIT)जहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें