Lala yang memang sedari tadi berdiri tidak jauh dari meja makan itu semakin menundukkan wajahnya. Pipinya semakin memerah, senyum malu-malu wanita itu terlihat. Bagaimana, pun, juga dia seorang gadis.

"Udahlah, Ma." Bagas berusaha menghentikan istrinya yang kemungkinan akan terus memarahi putra mereka.

Galen tak peduli, ia tetap menyuapkan nasi ke dalam mulutnya. Ia hanya melirik sekilas mamanya yang kini terlihat memasukan kotak bekal ke dalam tas adiknya namun pandangan ibunya menatap tajam dirinya.

"Icha hati-hati, ya, jangan nakal kalau di sekolah?" pesan Annisa kepada Putrinya yang sudah bangkit berdiri siap berangkat sekolah bersama susternya. Gadis kecil itu mengangguk mendengar wejangan dari ibunya.

"Iya, Ma. Emang Icha Kak Galen? Nakal!" ujar Icha memandang kakaknya, saat kakaknya melihat ke arahnya dia julurkan lidahnya. Annisa hanya menggeleng pelan mendengar itu tak mau berkomentar.

"Lala, kamu antar Icha, ya?" pinta Annisa ganti memandang pengasuh putrinya yang sudah berada di belakang Icha membawakan tas gadis kecilnya.

"Baik, Bu," balas wanita dua puluhan tahun itu.

"Icha belangkat dulu, Ma," Icha menyalimi tangan Ibunya.

"Iya, hati-hati, belajar yang pinter." ujar Annisa kembali. Icha hanya mengangguk lalu berjalan ke arah Sang Ayah.

"Putri Papa, dah, mau berangkat ya? Sini-sini, mau uang jajan berapa?" tanya Bagas saat putrinya berdiri di samping kursinya.

Icha nampak tersenyum mendengar pertanyaan itu. Sebelum kemudian memberengut mendengar ucapan mamanya. Selalu mamanya menyahut begitu setiap ia akan diberi uang jajan oleh ayahnya.

"Icha udah bawa bekal, Pa, lagian nggak baik jajan sembarangan buat Icha. Dia bisa sakit perut."

"Lagian anak kecil juga nggak baik bawa duit apalagi kalau banyak, mending kasih ke kakaknya aja." Galen ikut menyahut menaik turunkan alisnya menggoda adiknya.

Icha menatap kakaknya kesal, dia langsung saja mengambil tangan ayahnya. Menyalimi masih dengan wajah tertekuk karena tak di beri uang jajan, lagi.

"Eh, salim juga sama kakak sini!" Galen mengulurkan tanganya ke depan. Memberikan perintah pada adiknya agar juga menyaliminya sama halnya seperti mama dan juga papanya.

"Nggak mau, wlee!" Icha malah memeletkan lidahnya kepada Galen. Lalu berlalu menuju depan rumah diantar Annisa, sedangkan Lala mengikuti dari belakang.

Bagas yang melihat itu semua hanya menggeleng pelan. Dia kemudian bangkit berdiri setelah sebelumnya melap mulutnya dengan serbet. "Galen papa berangkat dulu," jeda dia menatap putranya menghela nafas pelan. "Kamu jangan terus membuat Mama kamu pusing, dan sedikit kurangi kejailan kamu ke adik kamu." lanjutnya lalu berlalu pergi.

Galen hanya menggangguk saja. Ia kemudian melanjutkan makannya dengan santai. Tak peduli jika ia akan telat berangkat ke sekolah, karena memang sudah sangat terlambat dia. Toh, sekolahan itu milik keluarganya. Jadi, suka-suka dia mau berangkat kapan saja, kan?

♡♡♡

PIM! PIM!! PIM!!!

Dengan tak sabar Galen mengklakson berulang kali, agar gerbang di hadapannya segera dibuka. Dia tak mau repot-repot turun dari motornya. Galen berdecak saat gerbang di hadapannya tak juga terbuka.

PIM! PIM!! PIM!!!

Seorang satpam paruh baya terlihat lari dari arah gedung tergopoh-gopoh. Dengan cepat dia membukakan pintu gerbang untuk anak pemilik sekolah tempatnya bekerja saat ini. Dia menunduk hormat setelah berhasil membukakan pintu gerbang.

UNTOUCHABLEWhere stories live. Discover now