52. Lies

536 61 33
                                    

"Kebohongan untuk menenangkan, katanya. Namun nyatanya, kebohongan tetaplah kebohongan. Tak peduli sebaik apa niatan, kehancuran akan menyusul belakangan."

Flashback

Shania menatap sendu peti di hadapannya. Kakinya terasa lemas. Matanya memanas. Berulang kali ia menahan tangis agar tidak pecah. Ia memegang dadanya yang terasa begitu sesak. Kehilangan memang bukanlah suatu perkara yang mudah. Terlebih lagi kehilangan sosok yang begitu ia cinta.

Kehilangan ayah sebagai sosok yang memberinya kasih dan cinta untuk kali pertama. Bukanlah hal yang mudah untuk Shania yang masih berusia 14 tahun. Pandangan Shania kosong. Pikirannya melayang pada memori-memori yang telah ia ukir bersama sang ayah. Jantungnya terasa seakan-akan berhenti berdetak.

Di tengah ramainya kerabat yang datang, Shania tetap merasa sepi. Seseorang berdeham, berusaha untuk membuyarkan lamunan Shania. Namun nampaknya, Shania tak mengacuhkannya. Ia masih tetap meneruskan lamunannya. Membuat seorang lelaki kembali berdecak dan menatapnya gemas.

"Hello, di sini ada orang kali. Main anggurin aja," ujar seseorang yang terpaksa membuat Shania berbalik badan dan menatap lelaki tersebut. "Buset, kantung mata lo gede banget," seloroh lelaki tersebut.

Shania mengembuskan napas perlahan. Berdecak melihat kelakuan sahabatnya tersebut. "Apa sih, Mik. Masih sempat aja ngajak gue bercanda di situasi se-menyedihkan ini," protes Shania pada Miko. Miko terkekeh kecil menanggapinya. Shania menatap Miko sebal.

Miko berdeham, kemudian meneguk salivanya, berusaha menutupi kegelisahan. "Shan, kehilangan itu pasti akan menghampiri setiap manusia. Karena, nggak selamanya kita bakalan terus-menerus hidup bersama orang yang kita sayang. Entah meninggalkan atau ditinggalkan terlebih dahulu.

"Semua akan datang dan pergi. Semuanya silih berganti. Kehilangan raganya bukan berarti lo juga ikut kehilangan kenangan yang ada. Kehilangan nggak harus bikin lo kehilangan diri sendiri."

"Lo nggak pernah ngerasain rasanya jadi gue. Kalau cuma ngomong doang, gue juga bisa. Tapi di sini posisinya, gue kehilangan bokap gue, Mik!" katanya seraya menatap nyalang Miko. Miko segera merengkuh Shania ke dalam pelukannya. "Lo nggak tau rasanya, Mik. Lo nggak tau," teriaknya seraya memukul dada Miko.

"Gue memang nggak tahu secara persis gimana rasanya jadi lo.Tapi, gue juga tahu rasanya kehilangan. Bahkan kehilangan sebelum sempat memiliki!" Miko mencoba meredam emosinya. "Lo tahu kan, nyokap gue meninggal setelah melahirkan gue? Gue juga sakit, Shan. Sama. Tapi jangan jadikan kehilangan sebagai alasan untuk terpuruk. Come on, lo harus bangkit! Sedih lo pasti akan berlalu. Percaya sama gue," katanya menenangkan Shania. Shania mengamini ucapan Miko dalam hati.

Shania berusaha melepaskan diri dari dekapan hangat yang Miko berikan. Miko pun tersenyum kepada Shania dan mengacak pelan rambut Shania. Shania mendengus kesal seraya berusaha menepis tangan jahil Miko tersebut. Miko benar, ia tak beloh terus-menerus larut dalam kesedihan. Ia putuskan untuk menyudahi kesedihan yang menjerat. Ia tak ingin menangis lagi. Langkahnya tak boleh berhenti.

"Ya udah Shan, gue tinggal bentar, ya," pamit Miko setelah tidak sengaja menatap seorang pria yang seumuran dengan ayahnya. Miko benci tatapan yang pria tersebut layangkan. Tatapan penuh kemenangan. Miko sangat tahu siapa pria tersebut. Ayah sahabat baiknya, Deo.

Melihat Shania yang tengah sendirian, pria tersebut mencoba mengambil kesempatan dengan mendekatinya. Namun nampaknya, Shania tengah asyik melamun. Hingga tidak menghiraukan keberadaan pria tersebut yang kini tengah berada tepat di belakangnya. Pria tersebut berdeham, sontak Shania membalikkan badannya seraya bertanya, "Ada apa, ya?"

Sacrifice and PainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang