21. Is She His Girl?

6.2K 858 206
                                    

Kamu adalah pilihan terbaikku, walaupun kamu selalu membenciku.

Shania berjalan seraya mengerucutkan bibirnya. Ia sungguh merasa sangat kesal karena yang ia tunggu sedari tadi tak kunjung menampakkan batang hidungnya. Berkali-kali dia melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya, namun sudah hampir satu jam lamanya, orang tersebut tidak menghampirinya. Saat ini, Shania sedang berada di pasar malam. Ia berada di sana karena memang Tata yang mengajaknya.

Shania membenarkan tatanan rambutnya yang sedikit berantakan, karena angin yang menerpa wajahnya dengan cukup kencang. "Ini anak ke mana, sih?" tanyanya seraya berdecak.

"Lima menit nggak dateng, gue tinggal beneran," gumamnya.

Shania hanya dapat menghela napasnya dengan pasrah. Hingga saat ini, orang yang ditunggu tak kunjung datang.

"Dor!" Shania terlonjak saat ada seseorang yang dengan sengaja membuatnya terkejut. Shania dengan refleks memukul kepala orang tersebut.

"Aw!" ringis orang tersebut. Pasalnya, pukulan Shania bisa dikatakan cukup keras.

Shania yang baru mengetahui bahwa yang dia pukul adalah sahabatnya sendiri, tiba-tiba memasang wajah merasa bersalah. "Eh, Tata, gue kira bukan lo. Sorry, sorry, nggak sengaja hehe," kekehnya seraya mengacungkan jari telunjuk dan jari tengahnya secara bersamaan.

Tata memutar kedua bola matanya dengan malas. "Pukulan lo keras banget, sih. Gila, kepala gue pusing, nih," gerutunya seraya mengusap kepalanya yang terasa pusing.

Shania hanya dapat tersenyum lebar. "Hehe. Ya maaf. Gue beneran nggak tau kalau itu lo. Gue kira lo maling, Ta," ujarnya tanpa ada rasa bersalah sedikit pun.

Tata memelototkan matanya saat mendengar Shania yang mengira dirinya adalah seorang pencuri. "Apa lo bilang? Maling? Mana ada cewek cantik kayak gue jadi maling? Ada-ada aja lo," katanya seraya menggelengkan kepalanya.

Shania memutar bola matanya dengan malas. "Lo kenapa lama banget, sih! Gue hampir satu jam nungguin lo tau!" kesalnya.

Tata terkekeh mendengar gerutuan Shania. "Hahah, sorry. Tadi jalanan macet. Jadi, gue harus bersabar menghadapi kemacetan yang sungguh melelahkan hati," kata Tata dengan dramatis seraya memegang dadanya.

Shania tertawa mendengar bualan Tata. Setidaknya, ia dapat menyembunyikan lukanya di atas tawa saat sedang bersama seseorang yang acap kali membuatnya merasa bahagia. "Apaan sih, ada-ada aja," ujarnya seraya menggelengkan kepalanya.

Tata merangkul bahu sahabatnya tersebut, karena saat ini, ia merasa tenang melihat Shania yang tidak menunjukkan sisi lemahnya. Ya, walaupun Tata tahu bahwa Shania menyimpan segudang luka yang tidak ingin ia bagikan kepada siapa pun yang berada di dekatnya, tetapi setidaknya, Tata merasa sedikit tenang karena Shania masih mau memperjuangkan apa yang memang harus diperjuangkan tanpa mengeluh atas beban yang berada di genggaman.

Setidaknya gue bisa liat lo tersenyum tanpa beban, walaupun sebenarnya gue tau, saat ini lo tengah berjuang menahan kesakitan. batin Tata dalam hati, seraya memejamkan matanya, berusaha ikut merasakan kepedihan yang dirasakan Shania, yang berhasil menumpas kebahagiaannya.

"Shan, keliling-keliling, yuk!" ajak Tata. Shania segera membalasnya dengan anggukan kepala. Keduanya pun berjalan mengelilingi pasar malam yang ramai, dengan tangan yang mereka tautkan tanpa ada niatan melepaskan.

* * *

Shania dan Tata masih berjalan beriringan seraya menautkan kedua tangan mereka. Keduanya sama-sama sedang merasakan indahnya malam hari ini. Dinginnya malam tak terasa karena telah berganti dengan kehangatan.

Sacrifice and PainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang