19. Wound Of Love

6.6K 981 380
                                    

Dari luka, aku belajar tentang arti kekuatan. Karena luka, aku mengerti titik kelemahan. Dan dengan luka, aku bertahan sendirian.

Shania berjalan menyusuri koridor sekolahnya dengan langkah gontai. Keadaan SMA Taruna Permata saat ini tengah sepi. Wajar saja, karena saat ini masih terlalu pagi bagi seorang siswa untuk berada di sekolah. Ya, saat ini waktu baru menunjukkan pukul 05.45.

Alasan Shania berada di sekolahnya sepagi ini, bukan karena dirinya yang terlalu rajin atau bagaimana, melainkan karena ia ingin mencari kebenaran dari sesuatu yang sedang berkecamuk di dalam kepalanya.

Kenapa gue jadi pusing kayak gini, sih? tanyanya dalam hati.

Banyak sekali dugaan yang muncul dalam benaknya. Ia sendiri sampai dibuat bingung dengan pemikirannya sendiri. Shania menjadi bingung sendiri karena ia hanya melihat sesuatu itu hanya dari sudut pandangnya tanpa mengetahui kebenaran yang sesungguhnya. Padahal, tidak semua apa yang dilihat oleh mata, sesuai dengan fakta.

"Dor!" Shania terkejut saat ada seseorang yang dengan sengaja mengagetinya.

"Kak Ray! Lo jangan suka ngagetin orang, dong. Untung gue nggak punya riwayat penyakit jantung," kata Shania dengan sebal seraya mengatur napasnya.

Ray menunjukkan deretan giginya. "Ya maaf, gue cuma iseng doang. Abisnya, lo jalan kayak orang gila, sendirian di koridor lagi. Emang lo nggak takut?" tanya Ray dengan mempunyai niat untuk menggoda.

"Takut? Takut apaan, coba?" tanya Shania yang tidak mengerti dengan maksud Ray.

Ray sedang berusaha menahan tawanya karena melihat wajah Shania yang terlihat kebingungan. "Ya, gue denger-denger, sih, di koridor sekolah kita ini, banyak penghuninya."

Shania yang mendengar penjelasan Ray, tiba-tiba saja merasakan ada yang aneh di sekitarnya. "Kak Ray, jangan bikin Shania takut, dong," kata Shania sambil menggigit bibir bagian bawahnya. Telapak tangannya tiba-tiba terasa dingin dan sedikit berkeringat.

Ray yang menyadari perubahan raut wajah Shania, tidak dapat menahan tawanya lagi. "Hahaha! Lo kenapa polos banget, sih?" tanyanya seraya memegang perutnya yang terasa sakit akibat terlalu banyak tertawa.

Shania menggelengkan kepalanya ke kanan dan ke kiri. "Kak Ray, lo nggak sakit, 'kan?" Kemudian ia maju selangkah untuk memegang kening Ray. "Nggak panas, sih. Tapi, kok kelakuannya rada geser, ya?"

Shania belum melepaskan tangannya dari kening Ray. Ray yang memiliki niat untuk menjahili Shania pun, memutuskan untuk menurunkan tangan Shania dari keningnya, dan memilih untuk meletakkan kedua tangan Shania di atas pundaknya.

Ray pun melingkarkan satu tangannya tepat di pinggang Shania, dan tangan yang lain memegang pipi Shania. Keduanya saling bertatap-tatapan. "Kalau dari deket, lo makin cantik, Shan."

Pipi Shania memerah. Duh, jantung gue rasanya berhenti berdetak. "Kak Ray apaan, sih." Shania memalingkan wajahnya, namun dengan cepat Ray menahannya. "Liat mata gue, Shan!" perintahnya.

Shania melihat Ray tepat di manik matanya. Ray memajukan wajahnya. Shania refleks menutup kedua matanya. Ray sudah tidak sanggup lagi menahan tawanya. "Hahaha! Lo kenapa bego banget, sih?" tanyanya dengan disertai tawa.

Shania yang merasa ditertawakan, dengan cepat membuka matanya. "Lo kenapa dari tadi ngetawain gue mulu, sih!" kesalnya.

"Lo ngapain tutup mata, coba? Lo pikir, gue mau ngapain?" tanya Ray dengan nada menggoda. Shania hanya diam, berusaha menyembunyikan rasa malunya. Shania pikir, Ray akan menciumnya seperti di kebanyakan novel yang telah ia baca. Namun nyatanya, tidak. Ray sama sekali tidak memiliki niat untuk menciumnya.

Sacrifice and PainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang