25. Try to ignore Him

4.9K 747 173
                                    

"Terkadang yang diharapkan akan berbanding terbalik dengan kenyataan."

Mata Shania memanas . Air matanya telah terjatuh dan mengalir dengan deras. Hatinya sungguh sakit karena telah mendengar sebuah fakta tentang Shawn dan seseorang. Walaupun di depan Shawn ia bersikap tidak peduli, tetapi percayalah, di dalam hatinya, ia masih tetap peduli, bahkan sangat peduli pada Shawn.

Sepulang sekolah tadi, Shania dikejutkan oleh suatu fakta yang sangat melukainya. Kaki yang dia gunakan untuk menopang tubuh, tiba-tiba menjadi lemas setelah mendengar fakta 'itu'. Bukan hanya itu saja, tetapi ia juga melihat sebuah perlakuan yang tidak pernah Shawn lakukan sebelumnya.

Hingga saat ini, Shania masih menangis tersedu-sedu. Hatinya seperti ditusuk pisau tak kasat mata berkali-kali, hingga hatinya hampir mati. Terkesan berlebihan memang, namun itulah rangkaian kata yang dapat melukiskan rasa yang terdapat di dalam hatinya.

"Shan, udah deh nggak usah cengeng," ujar Tata yang berada di sebelahnya. Sebenarnya, yang melihat dan mendengar kejadian 'itu', bukan hanya Shania saja, tetapi juga ada Tata yang sama terkejutnya dengan Shania. "Mau sampai kapan sih, Shan lo kayak gini terus?"

Napas Shania tersendat-sendat karena terlalu lama menangis. "Gu-gue, nggak ta-tau," jawabnya dengan terbata-bata karena napasnya belum kembali seperti semula.

Tata menggelengkan kepalanya melihat kelakuan Shania. Ia memijat pelipisnya yang terasa sedikit pening. "Ck! Cinta butuh pengorbanan, sih butuh pengorbanan. Tapi, nggak kayak gini juga, Shan. Heran gue," kata Tata seraya memandang Shania dengan heran.

Shania menghapus sisa air matanya. Setelah cukup tenang, ia bertanya, "Ta, apa sih yang kurang dari gue? Gue nggak jelek-jelek amat, gue nggak bego, gue...." Shania tidak dapat melanjutkan ucapannya karena air matanya kembali mengalir.

Tata yang merasa iba melihatnya, sontak merengkuh tubuh Shania yang terlihat rapuh. "Lo itu cantik, cantik banget malah. Lo itu nggak bego, pintar banget malah. Jangan ngerendahin diri sendiri, Shan," hiburnya pada Shania.

Shania memejamkan matanya, berusa mengontrol emosinya. "Nih, minum dulu," kata Tata dengan memberikan segelas air putih untuk menenangkannya. Shania menerimanya kemudian dengan cepat ia meneguknya. "Nggak usah nangis lagi, please...," pinta Tata, "gue capek ngelihatnya."

Mata Shania kembali berkaca-kaca mendengar permintaan Tata. "Kenapa lo masih mau bertahan di sisi gue, Ta?" tanyanya dengan lirih disertai tetesan air mata yang luruh secara perlahan.

Tata menghela napasnya perlahan. "Gue lakuin itu karena lo memang pantas diperlakukan seperti itu. Lo itu sahabat gue, Shan. Dan sudah sewajarnya gue bertahan di sisi lo, selama gue bisa." Shania tersenyum sendu. "Lupain Kak Shawn untuk sementara waktu, sampai hati lo kembali kuat untuk bertahan."

Shania menganggukkan kepalanya dengan pelan. "Iya." Kalau gue bisa, lanjutnya dalam hati.

"Eh, Shan!" Shania terkesiap mendengar teriakan dari Tata. "Biasa aja kali, sampai kaget kayak gitu. Oh iya, kakak lo pulang ke Indonesia kapan?" tanyanya.

Shania membeku di tempat. "Em... nggak tahu deh. Mungkin minggu depan."

"Wah, pasti lo kangen pakai banget ya sama kakak lo?" tanya Tata.

Shania tersenyum getir. "Iyalah!" balasnya dengan sedikit gemetar, namun Tata tidak menyadarinya.

"Nanti lo ikut ke rumah Kak Bryan?" Tata kembali membuka topik pembicaraan dengan tujuan agar Shania tidak terlalu mengingat kejadian tadi.

"Iya. Gue dipaksa Kak Ray," jawabnya.

Tata beranjak dari kasur Shania sambil mengalungkan tas kecilnya di pundak. "Shan, gue pulang dulu, ya. Nanti berangkat ke rumah Kak Bryan bareng aja, gue jemput lo." Shania menganggukkan kepalanya dengan malas. "Entar kalau kakak lo pulang, kenalin ke gue, yah?" ujar Tata disertai dengan kekehan kecil.

Sacrifice and PainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang