🐭 Astagfirullah || 4 🐁

197K 36.4K 3.8K
                                    

Ps = liat pojok kiri hp kalian kalau ada gambar 🌟🌟 (BINTANG) tolong tekan

Makaseeeh😘😘

Akhirnya, Asia dan Arhab sampai di rumah baru mereka ketika Magrib sudah berkumandang. Maklumi saja, makin hari, jalanan Bandung semakin sibuk. Hampir sama dengan jalanan Ibu Kota. Kini, Bandung tidak seperti Bandung yang dulu, kota Kembang yang asri dengan udara sejuk hanyalah tinggal kenangan. Bandung sudah dijamuri oleh gedung-gedung tinggi, tempat-tempat industri, mall-mall besar dan banyak lain hal. Itulah yang menjadikan Bandung menjadi salah satu kota sibuk, manusia datang dan pergi, menjemput rezeki baik siang maupun malam.

Dan dengan keadaan tersebut, Arhab sengaja membeli rumah yang memiliki halaman asri, beberapa pohon buah dengan ukuran cukup besar tumbuh subur di pekarangan. Luas rumahnya memang tidak besar, gaya bangunannya sudah sedikit ketinggalan jaman. Maklum, ini adalah rumah bekas, sudah pernah ada orang yang menghuninya. Tapi, hanya rumah ini yang bisa Arhab beli. Mungkin terlihat sederhana, tapi, di baliknya ada kerja keras Arhab yang tak terhingga.

Dan Arhab harap, wanita yang kini tengah berdiri di sampingnya mampu bersyukur atas apa yang ada. Bukannya Arhab tidak mau memberikan hal yang lebih, kalau bisa, ia pun memang ingin memiliki rumah yang sedikit luas dan dengan gaya modern. Tapi apa daya, tabungan yang ada memang masih minim. Sekarang, ia tak boleh berpikiran sempit lagi, bisa membeli ini-itu sesuai keinginan seperti saat ia bujang. Kini Arhab sudah memiliki tanggung jawab yang lain, istrinya. Ya, semenyebalkan apapun Asia, wanita bawel itu adalah istrinya, bidadarinya.

"Kecewa nggak lo nikah sama gue? Soalnya cuma ini yang bisa gue kasih. Rumah sederhana, bahkan nggak bertingkat." Arhab menghadapkan diri pada Asia, ia ingin melihat dengan jelas wajah wanitanya.

"Nggak apa-apa, segini aja lo udah hebat. Bisa beli rumah, bagus kok ini, enak. Ada pohon juga di depan."

"Iya dong, gue gitu, orangnya emang pekerja keras, nggak kayak lo. Pemalas."

"Enak aja lo kalau ngomong. Gue emang nggak tertarik sama dunia bisnis, niat gue 'kan emang jadi dokter, bukan pengusaha."

"Niat gue juga jadi dokter kok. Ini sih, lo-nya aja yang nggak berpikiran dewasa, nggak berpikir jangka panjang dan masa depan."

"His! Kalau bukan suami, udah gue tendang ampe ke Pluto dan nggak perlu balik lagi. Serba salah emang jadi istri, mau ngelawan takut kualat. Nggak ngelawan, kok lo makin nyebelin sih!" Asia memanyunkan bibirnya. Tanpa menatap Arhab ia pun berjalan menuju teras rumah dan mencoba membuka pintu kayu berwarna hijau tua itu.

Arhab hanya geleng-geleng kepala memperhatikan, sembari tersenyum. Apa ia kata, setelah menjadi istrinya, Asia takan mampu berkutik lagi. Ya, meski, Arhab pikir ini memang tidak menyenangkan karena Asia mudah ditumbangkan. Tapi, anggap saja ini keberuntungannya, karena sedari dulu, ia sering mengalah ketika debat dengan Asia. Dan kini, keadaan akhirnya berbalik juga.

"Ih! Malah ngelamun, cepetan ini, buka pintunya ai maneh ... bonge?"

Astagfirullah, Asia harap ia tidak berdosa karena mengatai suaminya sendiri budeg. Habisanya dipanggil-panggil sedari tadi, Arhab tidak menyaut juga.

"Sabar istriku, orang sabar disayang Allah."

"Istriku, istriku! Inget ya, nggak ada satupun manusia yang bisa sabar ngadepin mahluk aneh kayak lo."

Arhab geleng-geleng kepala, lalu melangkah sembari mengambil kunci dari dalam saku celana jeansnya.

Setelah Arhab memasukan anak kunci, memutarnya lalu menarik pegangan pintu dengan pelan. Dapat Asia lihat bahwa keadaan di dalam rumah masih gelap, lampu-lampu belum dinyalakan membuat bulu kuduk Asia sedikit merinding.

Astagfirullah, Husband! [RE-UPLOAD]Where stories live. Discover now