"Periksa seisi tempat. Jangan sampai ada yang tertinggal. Waspadalah terhadap sekitar."

Begitu Vanessa menitah, pasukan segera berpencar bersama pasangan mitra masing-masing. Emily melangkah menghampiri Vanessa yang telah berjongkok di tengah-tengah tabung seukuran pilar. Gadis itu memungut sebuah benda berkerlip ketika disinari lampu.

Tempat lensa kontak milik Kirika.

"Sepertinya mereka tahu kita datang."

"Lalu mereka benar-benar meninggalkan tempat ini tanpa meninggalkan sedikit pun jejak," imbuh Vanessa. "Sialan."

Hampir-hampir Emily terkesiap terang-terangan mendengarnya. Namun, betapa paham Vanessa tatapan yang dilontarkan Emily ke punggungnya.

"Saya harap Anda tidak mengadukan satu kata barusan kepada Madam, Komandan Emily," kata Vanessa lalu berdeham dengan wajah merah padam. Pun, ia masih sanggup mengalihkan pembicaraan meski gelagapan. "P-pokoknya ... jika asumsi kita mengenai penculik ini benar, kita pasti akan menemukan barang bukti di sini.

"Lalu ... Madam ...." Demikian ia berdiri tegap sembari menatap lurus komandan wanita di hadapannya. Namun, wajahnya mulai tampak muram. "Sementara waktu, barangkali terpaksa kita harus kesampingkan keberadaannya. Untuk sekarang, kita akan berfokus pada masalah penculikan."

~*~*~*~*~

Erangannya menggema untuk kesekian kalinya, lantas tersampaikan ke telinga Kenji. Tak perlu agaknya ia menghitung berapa kali Kirika mengeluarkan suara, toh ia tetap menikmati semua itu dengan seringai samar.

Sekali lagi ia mengerling kepada sosok di bawah sana. Ya, manik kemerahannya tak lagi menemukan wanita yang senantiasa berdiri tegak bersama wajah datar dan wibawanya. Kini ia rapuh, tak berdaya. Lagi-lagi, tentu saja, penuh luka.

Beberapa bagian pakaiannya telah compang-camping akibat cambukan, memperlihatkan memar dan bekas sabetan. Rambut mawar keemasan tersebut lepek karena air. Dadanya terus kembang kempis sebab sulit bernapas dengan ikat pinggang yang masih setia mencekik leher. Konon iris delima tersebut tak lagi sanggup menyalang, tetapi tetap saja ia tak pernah menuturkan tatapan yang menyampaikan arti meminta belas kasih.

Kesadarannya masih memancar di mata Kirika, kedua lensa Akira bisa memandangnya dengan jelas. Dia menaikkan dagu tepat melihat Kirika tersenyum samar.

Lagi.

"Aku menunggumu menanyakan sesuatu sebelum dikembalikan ke dasar kolam ini. Atau mungkin kau berminat ... menaikkan tingkat kesulitannya?" Wanita itu kembali memancingnya. "Mungkin tuanmu punya ide seperti menjadikanku bahan tontonan dan mempermalukan di depan publik dengan cara seperti ini?"

"Hampir!" Malah Kenji yang berseru. "Tapi terima kasih atas masukannya. Mungkin kita bisa melakukannya selama kau masih bisa bertahan."

Selagi Kirika memperlebar senyum, pandangan Akira kembali kepadanya.

"Anda mendengarnya."

"Ya. Dia tampak sangat bersemangat," tukas Kirika. "... Dan tampaknya semangatmu ikut bertambah untuk melanjutkan tugasmu."

"Begitu juga dengan Anda yang cepat-cepat ingin dilayangkan nyawanya. Sebab saya paham Anda tidak akan menjawab pertanyaan saya setelah ini."

"Tepat sekali."

Lalu dengan satu kedipan, katrol mengulurkan tali atas kendali di dalam kepalanya. Akira menurunkan kursi secepat kilat, tanpa aba-aba hingga sama sekali tiada kesempatan bagi Kirika untuk mengambil napas.

Buih serta gelembung naik sementara Kirika dibiarkan tenggelam. Sekujur luka kian terasa perih, meski hanya sekejap tetap terasa menyiksa. Butuh waktu bagi kedua kelopak mata itu terbuka, lantas memberanikan diri memandang gelap selagi indera pendengarannya mendengar aliran air di sekitar.

Fate : A Journey of The Bloody Rose [END]Where stories live. Discover now