Alena terkekeh melihat isi chat itu padahal tak ada humor-humornya sama sekali, tapi melihat chat dari ketiga temannya dapat membuatnya terkekeh sendiri. Alena akui ketiga sahabatnya itu, terutama Cika adalah pengubah mood-nya selama ini.

Alena berdiri, melangkahkan kakinya malas menaiki tangga menuju kamar miliknya. Bunda sudah tertidur sepertinya terlihat dari lampu kamarnya yang sudah mati. Dirinya melewati kamar milik abangnya yang tak ada penghuninya itu, seperti hari sebelumnya, bang Ian tidak pulang.

Alena membuka kamar miliknya dan langsung menutupnya kembali serta tak lupa menguncinya. Kemudian dirinya merebahkan tubuhnya di kasur over side  miliknya.

Isi kepalanya masih memikirkan seseorang yang sangat dirinya ingin ketahui. Laura, dari namanya Alena menebak bahwa cewek ini terlihat feminim tapi kuat. Alena mengacak rambutnya, frustasi. Haruskah Alena bertanya lagi pada Gendra atau diam saja dengan pikiran keponya.

***

Gendra bersama antek-anteknya berjalan dengan gagahnya di lorong menuju kantin kelas dua belas. Seperti formasi biasanya Gendra lah yang selalu berada di tengah. Maep mengoda beberapa murid cewek yang berpapasan dengan mereka, tak terkecuali si Asrul yang malah berani merangkul murid cewek yang berpapasan dan yang pastinya cantik.

Gendra sudah berkali-kali memperingati kedua makhluk genit itu, tapi respon mereka hanya menjawab iya tanpa melakukan perintah bos-nya itu.

Bima, sudah mulai masuk sekolah hari ini, setelah hampir 2 minggu dirinya diskors karena bolos pelajaran dan selalu telat datang ke sekolah.

Saat memasuki kantin Gendra berpapasan dengan Alena dan ketiga sahabat bar-barnya. Gendra tersenyum, namun Alena malah tak menghiraukannya, memilih masuk kedalam kantin dan langsung mendudukan bokongnya disalah satu kursi di kantin.Diikuti ketiga sahabatnya yang langsung mendudukan bokongnya di kursi sebelah dan di depannya.

"Len, lo lagi marahan sama Gendra?" Pertanyaan Adistyn mendapatkan respon yang sama dari Vio dan Cika.

"Nggak,"balasnya pendek.

"Bohong lu, Len."

"Ihh, beneran, Dis." Alena meyakinkan sahabatnya itu. "Emang lo gak suka sama Gendra?" Tanya Cika to the point.

Pipi Alena memerah mendengarnya pertanyaan itu. "Nggak, biasa aja tu."

"Oke, kalau gitu gue deketin Gendra boleh kan?"Vio bertanya dengan wajah mengoda Alena. Mengetes cewek itu dengan pertanyaan seperti ini mungkin akan membuatnya mengaku. "Jangan dong, Vi,"ucapnya pelan seperti berbisik, namun masih dapat didengar.

Tawa ketiga sahabat Alena menggelegar mengisi kantin yang masih ramai itu. Jawaban Alena membuktikan bahwa dirinya memang sudah menyukai Gendra.

"Iya deh, iya. Gue suka Gendra,"ucapnya dengan cemberut dan tanganya masih setia mengaduk asal soto pesanannya.

"Tuh kan."Cika menunjuk Alena dengan wajah mengoda. "Yaudah, lo deketin aja,"ucap Adistyn sarkas.

"Gue gak berani Dis, kayaknya dia udah punya pacar deh."

"Kan lo belum nyoba, bego."

Alena bisa saja menyatakan cintanya pada Gendra, tapi bagaimana jika Gendra tidak menerimanya. Karena ini pertama kalinya Alena menyatakan cinta duluan, biasanya para cowok lah yang menyatakan cinta duluan padanya. Alena sudah tak berselera makan dia beranjak meninggalkan ketiga sahabatnya yang menatapnya aneh.

"Malu kali tuh Lena,"ucap Vio dengan memasukan suapan besar batagornya. Pernyataannya langsung mendapat anggukan kedua sahabatnya Adistyn dan Cika.

Alena membelokan diri ke perpustakaan, untuk mencari ketenangan. Namun, baru saja dirinya ingin membuka pintu perpus tangan besar menariknya dengan kasar. Tangan itu milik Gendra. Alena meronta minta dilepaskan tapi Gendra hanya diam saja dan terus menariknya menuju belakang sekolah lebih tepatnya taman belakang sekolah.

"Kamu kenapa sih, Len?"ucap Gendra setelah sampai di taman belakang sekolah yang cukup sepi. Tangannya masih menggenggam pergelangan tangan Alena tapi sudah tak sekuat tadi.

"Kenapa, maksutnya?" Alena mengeryitkan dahi tanda tak tahu apa yang dimaksut cowok jangkung di depannya ini. "Kok kamu ngehindarin saya?"

"Si... siapa?"ucap Alena gugup, terlihat sekali. "Tadi pagi saya panggil kamu, kamu malah lari. Terus tadi di kantin saya senyum, kamu malah jutek,"ujar Gendra dengan nada tak biasa.

Gendra melepaskan genggamannya pada tangan Alena. "Laura?" Pertanyaan Gendra seratus persen benar. Alena seperti itu karna merasa bahwa Laura adalah gadisnya Gendra. Alena diam, dirinya bingung harus menjawab seperti apa.

Gendra memegang kedua pundak Alena, menatap kedua bola mata Alena yang terlihat jelas kalau sedang gugup. Dan Alena hanya berdiam di tempanya dengan keringat yang bercucuran di dahi karena dilihat intens seperti itu oleh Gendra. Setelahnya, ia yang menunduk.

"Iya,"ucap Alena pelan.

"Kalau Laura pacar lo, gue bakal jauhin lo mulai sekarang." Gendra menautkan alisnya dengan pernyataan aneh Alena. Gendra berdeham dengan melihat sekeliling.

"Kamu suka saya?" Alena membelalakan matanya. Bersamaan dengan Gendra yang menurunkan tangannya dari pundak Alena.

"Kenapa gak bilang, Len?" Alena mendongak menatapan Gendra yang juga sedang menatapnya dengan mimik wajah yang tidak dapat dibaca.

Lagi, Gendra memegang pundak Alena dengan kedua tangannya, matanya tak lepas dari wajah Alena yang sudah dibasahi keringat.

"Percaya sama aku, Len."


Tbc.









Daffodil123_

GENDRA [END]Where stories live. Discover now