'GENDRA' #7

177 51 38
                                    

HAL  yang paling ditakutkan Gendra adalah tidak bisa bertemu kedua orangtuanya. Rasa ingin bertemu sudah sejak lama ia pendam, tapi apakah itu hanya suatu angan?

Gendra setuju dengan kata Dilan sang panglima tempurnya Milea bila 'rindu itu berat' , ya... memang benar rindu itu berat dan menyesakkan. Apalagi bila merindukan kasih sayang kedua orangtua kandung.

Untung ada sahabat-sahabatnya yang selalu ada dan setia serta ... cewek bar-bar yang sekarang mulai mengisi hari-harinya.

Sepulang sekolah tadi Gendra dan para antek-anteknya langsung menuju tempat tongkrongan mereka, warung Bu Bejo.

"Ndra, gila ya lo?" Maep membuyarkan lamunan Gendra.

"Senyum-senyum sendiri gak waras lo Ndra." Tambah Johan

"Iya Ndra sekarang kok gue perhatiin lo jadi aneh sih, senyum-senyum sendiri, ngelamun. Terus ni ya dulu lo paling pemdiem paling dingin diantara kita sekarang beda banget Ndra." Asrul mengeluarkan semua isi pikiran dan hatinya.

Gendra hanya diam mendengar ocehan-ocehan sahabatnya itu. Males sekali menanggapi mereka, nanti pasti ujung ujungnya membahas Alena. Tapi memang cewek itu sih yang sedang ia pikirkan.

"Biarin aja ngapa sih brisik lo pada. Orang kalau lagi jatuh cinta ya gitu tu." Bima berucap setelah mengebulkan asap rokoknya.

"Bim, jangan lupa besok lo udah berangkat, jangan bolos,"ucap Gendra memeperingati serta mengalihkan pembicaraan. "Siap bos,"balas Bima dengan tangan terangkat seperti orang sedang hormat.

Bima masih sibuk dengan rokoknya sampai lupa dengan pesanannya yang sudah ia pesan sejak tadi, "ini pesanannya."

"Makasih Ra." Bima berkata dengan memasang wajah andalannya, genit.

"Itu siapa sih?baru liat gue." Maep bertanya, kala melihat Zara anak bungsu Bu Bejo mengantarkan pesanan Bima. "Itu, anaknya Bu Bejo. Cantik ya, "

"Sadar woii! Cewek lo masih menghirup udara di bumi."

Bima tekekeh melihat respon Asrul yang mengelikan itu. "Iya.. siapa bilang si Velyn udah meninggal,"balasnya santai dengan menyantap mie pesanannya.

Gendra terkekeh melihat keduanya. Namun, ekpresinya berubah kala pandangan matanya menangkap sosok yang paling dirinya hindari, om Dery.

Gendra mengepalkan tangannya kuat sampai memperlihatkan tonjolan uratnya. Mata sipitnya memicing, napasnya memburu. Gendra beranjak pergi, sebelum itu ia meraih tongkat bisbol milik Bima yang bertengker di pojok warung, tanpa meminta persetujuan pemiliknya Gendra membawa tongkat bisbol itu.

Heran dengan kelakuan Gendra yang tiba-tiba, tetapi sahabat-sahabatnya tak ada yang berani bertanya mengapa dirinya begitu. Gendra berjalan cepat menuju lapangan yang tak jauh dari warung Bu Bejo, mengalihkan perhatian Omnya itu. Tangan kanannya memegang erat tongkat bisbol. Di belakangnya ada mobil berwarna hitam yang mengikutinya.

Om Dery keluar dari mobil, setelah sampai di lapangan itu. Matanya menatap tajam Gendra dan dirinya tersenyum miring pada ponakannya itu. "Kenapa bawa tongkat bisbol?"tanya Om Dery dengan kekehan kecil.

"Tau aja kalau saya mau buat kamu babak belur." Tambahnya

Gendra hanya diam mendengarnya. Percuma sekali menanggapi ocehan orangtua satu ini.

Gendra bersiap pada posisinya setelah melihat Omnya memberi isyarat pada bodyguard-bodyguardnya untuk menyerangnya. Ketua geng dilawan.

Gendra mengalahkan mereka dengan gerakan cepat dan tangan yang tak henti-hentinya memukul dengan tongkat bisbol. Semua tumbang, hal itu membuat Om Dery mengeratkan rahangnya.

GENDRA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang