Mengkerutlah Gasta di kursinya. Kedua matanya terkunci pada sosok papanya yang kini berdiri dan menatapnya dengan tatapan buas.

Mulut Gasta seperti terkunci rapat.

Papa bergegas menghampiri Gasta untuk menarik lengannya, menyeretnya dari kursinya. Gasta tetap terdiam, sampai akhirnya Papa membanting tubuhnya ke tembok.

Buk!

Pikiran Gasta mulai berputar cepat, mencari-cari apa kesalahannya kali ini. Dia tak berani menatap papanya. Dia menunduk dalam-dalam. Tanpa disangka, Papa menampar pipinya keras sekali.

Sekujur tubuh Gasta menegang. Lidahnya kelu terkulai lemah dibalik bibirnya yang mengatup rapat. Matanya mulai terasa panas, sebagaimana pipinya. Gasta ingin beranjak dari situ, tapi kedua kakinya seakan terikat erat.

"Ngapain lapor-lapor ke guru kamu segala soal Papa?" suara berat Papa mulai terdengar.

Pupil Gasta melebar. Mendongak, dia reflek mengelak. "Lapor apa, Pa?"

Buk!
Pertanyaan tersebut dijawab dengan sebuah tendangan di perutnya. Tubuh Gasta menekuk menahan sakit. Matanya terpejam rapat dengan bibir tergigit.

Jelas tidak cukup sampai disitu. Gasta ditarik kuat-kuat agar berdiri lagi. Masih dengan kepala tertunduk, Papa mendorong kedua pundaknya hingga tersandar di tembok. Kedua pundak Gasta ditekannya ke tembok kuat-kuat. Gasta mencengkram pergelangan tangan papanya, mencoba menjauhkan Papa dari dirinya. Namun wajahnya dipalingkan ke samping, sambil meringis menahan sakit karena pundaknya ditekan. Airmatanya mulai mengalir.

"Guru kamu telepon Papa, terus nyuruh Papa buat ngedukung minat kamu di basket. Jelas kamu kan yang lapor?"

Gasta bingung. Poin manakah yang membuat papanya berpikir bahwa Gasta bisa seberani itu melaporkan tindakan kriminalnya?

"Gasta ngga bilang apa-apa Pa, sumpah." kilah Gasta.
"Palsu. Kamu pasti bilang kalo Papa yang menyebabkan luka-luka di punggung kamu itu kan?" gertak Papa sekali lagi.
"Engga Pa, Gasta ngga bilang apa-apa. Gasta ngga tau apa-apa Pa."
"Ngga usah bohong!"
"Beneran, Pa, sumpah, Gasta ngga ngomong apa-apa."
"Sekali lagi Papa tanya. Apa aja yang kamu bilang ke guru kamu itu?!"
"Dibilangin ngga bilang apa-apa juga. Ngga percaya amat sih!" Gasta membentak kesal.

Sekali lagi, tamparan keras mendarat di pipi Gasta.

Feliz tiba-tiba masuk ke kamar Gasta. Dia berusaha menarik papanya, tapi bantingan tangan papanya lebih kuat. Feliz terjerembab ke lantai menahan sakit.

"Bukan urusan kamu, Feliz. Keluar dari sini." seru Papa tanpa menoleh. Kedua matanya masih fokus pada anak bungsunya yang ditatapnya seperti mangsa empuk.
"Pa, udah." ujar Feliz lirih.
"Keluar!" bentak Papa keras-keras.
Feliz mengkerut sesaat, namun tetap bergeming di situ. Dia tidak mau Gasta kembali terluka.

"Kak, keluar Kak. Plis." Gasta rupanya tidak mau melihat Feliz mendapatinya terluka.
"Pa, tolong Pa. Jangan. Kasian Gasta." pinta Feliz sekali lagi.
"Jangan ikut campur, Feliz." bentak papanya.

Papa kembali pada Gasta.

"Papa tanya sekali lagi." ujarnya dingin. "Kamu bilang apa ke guru kamu soal Papa?"

Gasta menggigit bibir. Dia sendiri bingung, karena tidak merasa mengungkit soal lukanya sama sekali. Gasta mencoba jujur.

"Pak Hans cuma tanya, apa mama ama papa ngedukung Gasta sepenuhnya di basket. Gasta bilang...." Gasta tak meneruskan kata-katanya.
"Kamu bilang apa?"
"Gasta bilang... kalo Gasta ngga bisa jawab itu, Pa. Udah. Itu aja."

Kembali, pipi Gasta terasa panas.

"Goblok!" teriak papanya, tepat di depan wajah Gasta.

"Guru kamu meriksain luka kamu, terus dia nanya gitu, terus kamu jawab gitu? Otak kamu dipake ngga sih?" olok Papa sembari menoyor kepala Gasta ke samping. Mata Gasta semakin basah.

Aim for AimeeWhere stories live. Discover now