9 - Keadilan untuk Gasta

134 16 0
                                    

Dua hari sudah berlalu sejak insiden Danes kaget karena tikus. Tidak ada satupun yang tau kenapa Danes tidak masuk. Tidak ada satupun yang dikabari oleh Danes. Danes memang tidak mempunyai sahabat dekat di kelas 8A. Sahabatnya berandal-berandal sekolah. Dan berandal-berandal itupun bahkan tidak tahu bahwa Danes tidak masuk.

Jam sudah menunjukkan pukul 12, pertanda jam pelajaran terakhir sudah dimulai. Setelah istirahat, kelas unggulan akan mendapat pelajaran tambahan, sementara kelas reguler dipulangkan. Gasta sedang sibuk mengerjakan latihan soalnya ketika salah seorang guru memanggilnya.

"Gasta, tolong segera menghadap Bu Nia di ruang BK ya!" ujar Bu Fatma, salah seorang guru BK.

Gasta tidak menjawab. Dia sedikit kaget, lalu dia santai saja. Tapi semua mata temannya tertuju padanya. Tanpa ragu, Gasta bangkit dari duduknya dan berjalan ke ruang BK mengikuti Bu Fatma.

Sesampainya di ruang BK, Gasta mendapati Bu Nia di mejanya bersama seorang wanita paruh baya.

"Gasta, sini." ujar Bu Nia.

"Ada apa ya Bu?" tanya Gasta.

Pandangannya tersita oleh wanita paruh baya di sebelah Bu Nia. Wanita itu mengamati Gasta dengan wajah penasaran.

"Jadi kamu yang namanya Gasta?" tanyanya.

Gasta mengangguk halus dan mengurai senyum ramahnya.

Plak!

Tiba-tiba saja pandangan Gasta menggelap, dan merasakan panas di pipi kirinya. Kejadian tersebut terjadi cepat sekali.

"A... Ada apa ini Bu?" tanya Gasta terbata-bata. Bu Nia tampak terkesiap. Jelas bukan Bu Nia yang melakukannya tadi.

"Kamu pernah tau rasanya patah tulang, hah?" bentak wanita itu. Mata Gasta membulat. Drama sekali orang ini, pikirnya. Bahkan dia tidak tahu siapa dirinya itu. Jadi, Gasta menanggapinya dengan candaan.

"Kalo patah hati saya pernah, Tante." balasnya.

Plak! Sekali lagi Gasta mendapat pukulan yang sangat menyakitkan di pipi kirinya.

"Bu, cukup Bu! Sudah!" tegur Bu Nia.

Gasta kaget. Luar biasa kaget. Pipi kirinya terasa sakit sekali.

"Brengsek sekali kamu ya. Pantesan bisanya cuma nyelakain anak orang lain!" rutuknya. "Goblok kamu! Tolol!" Ibu itu terus emosi sambil menoyor-noyor kepala Gasta. Bu Nia berusaha mencegahnya, tapi tak berhasil.

Gasta, yang tidak tahu siapa wanita itu, hanya bisa diam tanpa kata, membisu seribu bahasa. Hanya sebutir airmatanya saja yang berbicara. Takut, kaget, bingung, semua Gasta rasakan bersamaan. Dia tetap bergeming di situ, tidak kabur, tidak duduk, tidak melawan. Tetap berdiri tegap dengan pandangan menghadap ke bawah dan pipi basah.

"Kamu tau, Danes itu anak saya satu-satunya! Dan sekarang, gara-gara kamu, dia nggak bisa duduk! Tulang ekornya patah gara-gara kamu takut-takutin dia pakai tikus yang sama brengseknya sama kamu itu!" cecarnya pada Gasta, tepat di depan mukanya. Gasta terus menghadap lantai. Ujung bibirnya berdenyut nyeri. Sepertinya terluka. Gasta terus diam karena sudah tahu siapa wanita ini.

"Benar, kamu yang naruh tikus di loker meja Danes?" tanya Bu Nia. Jelas Gasta menggeleng.

"Bohong! Dia bohong Bu!" potong Ibu Danes.

"Sabar Bu, tenang! Ibu tolong jangan interupsi saya ya. Saya tanyanya sama Gasta. Bukan sama ibu!" tukas Bu Nia kesal.

Ibu Danes terdiam.

"Lalu gimana ceritanya, Gas? Ibu dengar, kata teman-teman kamu, kamu yang bawa tikus itu. Bukan begitu?"

Gasta mengatur napasnya. "Memang, Bu. Tapi saya nggak bermaksud buat nakut-nakutin Danes. Kebetulan aja Danes kesitu. Dan nemuin tikusnya." Gasta terisak. "Orang itu di mejanya Marco kok Bu." imbuhnya.

Aim for AimeeWhere stories live. Discover now