41 - Pentingnya Tahu Diri

107 12 9
                                    

Semenjak insiden itu, Gasta menjauhkan diri dari Feliz.
Ada jarak di antara mereka. Ada dinding maya yang seakan menghalangi keduanya.

Gasta jadi dingin. Dia bertingkah seakan Feliz tidak ada. Bahkan, dia memilih tinggal dengan mamanya. Di sekolah, Gasta tidak menyapa Feliz. Kecuali jika Feliz memanggilnya, mau tak mau dia pasti menghampiri. Tapi sikapnya sungguh dingin. Datar, tanpa ekspresi.

Gasta sungguh kecewa pada Feliz. Meski ribuan kali Feliz telah menjelaskan bahwa saat itu bukan Feliz yang melaporkannya pada papanya, Gasta tetap tidak percaya. Gasta tetap bungkam. Maka dari itu Gasta merelakan diri tinggal bersama mama dan papa tirinya itu. Meskipun, hampir setiap hari Gasta kena marah dan dihajar habis-habisan oleh papanya. Saat mamanya bertanya kenapa Gasta ingin tinggal bersama mereka, tentu saja dia tidak mengaku bahwa dia sedang marah pada Feliz. Gasta ngakunya, "Aku lagi kangen mama."

"Gasta!" panggil Feliz dari kejauhan, siang itu. Gasta menoleh, lalu memasang wajah tak suka.
"Sini!" Feliz menyuruh Gasta datang kepadanya. Gasta menurut saja. Dia menghampiri Feliz dengan langkah yang berat.
Tiba-tiba Feliz terkesiap melihat luka memar di tulang pipi kanan Gasta.
"Astaga, Gas. Ini kenapa? Kok bisa gi..."
"Haaash." tak disangka, Gasta menepis tangan Feliz yang menyentuh pipinya. "Ada apa?" tanyanya ketus. Sama sekali bukan Gasta yang selama ini Feliz kenal.
"Itu..." Feliz menunjuk pipinya. "Pipi kamu..."
"Bukan urusan kakak. Ngapain tadi manggil?" Gasta mengabaikan ucapan Feliz.
Feliz menghela napas panjang. "Kamu udah makan?"
Gasta melengos ke arah lain. "Udah."
"Itu pipi kenapa?" tanya Feliz lagi.
"Kepo banget jadi orang. Udah? Gitu aja nanyanya?"
"Ya ampun, Gas. Jahat banget sih. Kakak itu khawatir, tau ga?"
Gasta mendengus kesal. "Ya udah. Aku ke kelas."

Feliz menatap kepergian adiknya dengan hati yang hampa. Tak disangkanya adiknya itu bisa sedingin itu.

Pipi memar Gasta adalah hasil perbuatan papanya. Tentu, Gasta tidak akan mengaku begitu saja pada Feliz. Tidak hanya fisiknya, jiwa Gasta pun terasa babak belur. Namun Gasta tak bisa melakukan apa-apa karena dia tidak ingin Feliz memaksanya kembali tinggal bersamanya.

***

Semenjak insiden itu pula, Uzi dan Fais, serta beberapa berandalan sekolah lainnya semakin getol mengintimidasi Gasta.

Setiap kali Gasta lewat di suatu tempat yang tak jauh dari mereka, selalu ada saja bullyan verbal dari mulut kotor mereka.

“Kasih jalan kasih jalan! Tukang cabul mau lewat!” pekik Uzi kali itu. Terang saja satu lorong menoleh ke arahnya.

Gasta hanya diam. Dia menunduk dalam, merasa harga dirinya telah luntur oleh ucapan Uzi tadi. Dan jelas, hal itu membuat para berandalan sekolah itu semakin kegirangan, riuh, dan terus menyoraki Gasta yang tetap berjalan tanpa menoleh ke arah mereka.

Itu masih mending. Pernah suatu ketika Gasta lewat di tempat yang dirasanya tidak akan ada berandalan sekolah di situ. Namun nyatanya, Uzi, Fais, dan beberapa kawan sableng lainnya memblokade jalan tersebut.

Dan yang perlu diketahui, ada Danes juga di sana.

Gasta ingin putar balik, tapi jelas dia akan segera dikejar dan dikata-katain cupu atau cemen. Akhirnya Gasta putuskan untuk terus saja.

Tak ayal, para berandalan itu tergoda untuk menindas Gasta. Kecuali Danes, yang terlihat diam tak berkutik.

“Woy, mesum! Ngapain lo lewat sini?” gertak Alam saat Gasta sudah di depan mereka. Gasta pura-pura tidak mendengar. Jelas, Alam sudah termakan bualan Uzi dan Fais bahwa Gasta-lah yang hendak berbuat yang tidak-tidak pada Aimee.

“Sok budeg lagi anjing. Woy!” kali ini Uzi yang menyerang. Diteriakinya telinga Gasta. Gasta menyipitkan mata karena terkejut. Tapi tak ditolehnya sedikitpun berandalan itu.

Aim for AimeeWhere stories live. Discover now