50 - Kelanjutan Kemarin

102 8 3
                                    

Batin Raymond terguncang.

Terhuyung dia ke belakang, lalu lari ke ruang tamu, sadar bahwa ini bukan rumahnya. Dia harus bisa melawan guncangan hatinya. Setiba di sofa, dia menghempaskan tubuhnya ke sana, dengan kedua tangan menangkup di wajah. Raymond menangis sesenggukan.

Sesuatu yang tidak pernah dilakukannya sejak kepergian Deon.

Darah itu, raut lemas itu...
Raymond tenggelam dalam rasa bersalah. Tawa Deon menggaung tiba-tiba di telinganya. Seiring tangisnya yang semakin menyayat.

Lalu tiba-tiba dia sadar - mungkin, harus menyadarkan diri - ini bukan di rumahnya; ini rumah Feliz. Airmata itu tidak boleh tampak. Bahkan raut sedih pun sebisa mungkin jangan sampai ada. Dia tak ingin Feliz menangkapnya sedang berduka. Cepat-cepat dia menghapus airmatanya. Disekanya pula hidungnya yang mulai berair. Raymond mencoba tegar; mengatur posisi sedemikian rupa hingga tidak terlihat habis meratapi sesuatu yang dapat membuatnya terlihat rapuh.

***

Gasta kini membungkuk di wastafel. Dia menyeka sekitar bibirnya yang masih tersisa bercak darahnya setelah sebelumnya dia berkumur-kumur. Feliz memantaunya dari pintu dengan kedua tangan terlipat di depan dada.

"Udah?" tanyanya ketus tapi khawatir.
Gasta berbalik. Dia tertatih menuju pintu.
"Kita ke rumah sakit ya?" lanjut Feliz. Kontan Gasta menggeleng. "Aku nggak papa." terlontar mantra andalan Gasta.
"Mesti deh. Kalo ada apa-apanya entaran, gimana? Mau Kakak telpon Mama?" ancam Feliz serius. Gasta menggeleng kembali, sedikit kesulitan bernafas; dia terlihat sedang mengatur nafasnya. Namun jari kelingking kanannya terangkat dan terarah ke wajah Feliz.
"Kalo nanti gini lagi, baru deh... Janji..."

Feliz menurunkan tangan Gasta yang terarah ke wajahnya. Dia masih diam sambil menatap Gasta dengan tatapan khawatir. "Doain nggak gini lagi ya..." imbuh Gasta.

Gasta berjalan ke ruang tamu, diikuti Feliz. Wajahnya masih pucat, namun dia memilih untuk duduk di sofa. Kontan Raymond menyambutnya dengan senyum ramahnya.

"Udah mendingan, Gas?"
Gasta hanya menjawabnya dengan senyuman tipis dan acungan jempol.
"Sini tiduran aja... Pasti masih lemes kan..." Raymond sigap meraih bantal sofa di dekatnya dan menaruhnya di sofa panjang ruang tamu agar Gasta bisa tidur selonjoran. Gasta menurut saja, karena rasa lemasnya tak dapat berdusta.

"Gasta di kamar aja ya sayang. Di sini ntar ngga nyaman." ujar Feliz sambil membelai rambut adiknya.
"Gasta mau nemenin Kak Raymond." sahut Gasta setengah berbisik. Sungguh dia ini masih lemas sekali.
"Iya, Gasta di kamar aja deh. Ayo, aku anter." Raymond kini memihak Feliz. Dipapahnya Gasta yang tampak tak bertenaga kali itu menuju kamar. Dia memilih kamar bawah saja agar tidak perlu susah-susah ke atas.

Setibanya di kamar, Feliz teringat lembaran-lembaran tugasnya. "Astaga. Kalian berdua di sini dulu ya. Aku beresin tugas dulu di depan."

Gasta dan Raymond mengiyakan. Kali ini, Raymond duduk di tepi ranjang sedangkan Gasta sudah berbaring di tengah.

"Kak Raymond." panggil Gasta lirih.
"Ya?"
"Jangan sedih. Jangan nangis lagi ya."
Raymond menelan ludah. Apa mata ini masih merah? pikirnya.
"Sapa yang sedih sih." sanggah Raymond, merekahkan senyuman. Gasta turut tersenyum.
"Aku juga cowo Kak. Aku tau." timpalnya.
"Apaan sih Gasta." Raymond tertawa.
"Kak Raymond... keinget Deon ya?"

Senyuman Raymond berubah.

Raymond menyentuh tangan Gasta. Menurutnya, laki-laki remaja ini punya hati selembut kapas. Empatinya luar biasa. Membuat matanya kini kembali berkaca-kaca.

Gasta bangkit. Dia tau Raymond sedang rapuh. Dia duduk, lalu dengan tiba-tiba, dia merengkuh Raymond dalam pelukannya.

"Deon pasti sekarang udah bahagia." bisiknya, seakan tau isi hati Raymond.

Aim for AimeeWhere stories live. Discover now