24 | she saw the boss stripped

Depuis le début
                                    

Bukannya Sabrina kepedean dan mengira Zane pasti akan suka melihat badannya, but, yeah ... Zane normal, kan? Emang badan Sabrina sejelek apa sampai Zane tidak mungkin tidak akan terpengaruh? Apalagi terakhir mengukur, Sabrina punya curve 90-60-90! Bukan 90-65-90 lagi! Lekuk tubuh dambaan semua cewek! Cowok normal mana coba yang yang nggak akan menelan ludah melihat cewek dengan postur sempurna, plus muka nggak kalah manis dari Kienna Stupakoff?

Juned turun membawa handuk dan tas alat mandi, menyapa Sabrina sambil mengucek mata. Masih muka bantal dan rambut singa. Kentara sekali begitu melek langsung turun.

"Di atas nggak ada kamar mandi, Jun?" Sabrina bertanya.

Juned menggeleng. "Bangsat emang si Zane."

"Capek dong kalau kebelet pipis malem-malem." Sabrina ngakak. "Btw pagi banget lo mandinya?"

"Gue bukan kebo. Jam segini mah bukan pagi lagi."

"Aish!" Sabrina manyun, melenggang ke dapur diikuti Milo yang tadi memang bangun lebih dulu ketimbang dirinya, dan sudah sangat tidak sabar pengen keluar dari kamar Sabrina yang sempit. "Mau dimasakin apa?"

"Lo bisa masak? Kirain gue yang jadi kepala koki di sini."

"Taik. Buruan mandi, gantian!"

"Hmm." Juned berlalu.

"Lo nggak ada alergi, kan?" Sabrina berseru sebelum kawannya itu menghilang di balik pintu kamar mandi.

"Kagak!"

Sabrina manggut-manggut, menggulung rambut asal-asalan dan menusuknya dengan sumpit yang ada di tempat sendok di counter dapur. Karena kemarin buru-buru, semua ikat rambutnya tidak ada yang terbawa.

Kemudian dengan cekatan dia menyiapkan susu dan makanan untuk Milo, lalu mulai membuka kulkas, mengamati bahan-bahan yang dibelinya kemarin.

Sebenarnya Sabrina sudah membuat menu untuk dua minggu. Dan untungnya semua bahan yang dibutuhkan dapat terbeli. Tapi kalau memang Zane atau Jun tidak suka menu yang dia rencanakan, bukan masalah besar juga. Sabrina bisa masak apa saja karena sudah terbiasa menjadi babu untuk kakaknya selama mereka tinggal bersama dulu. Ibel tidak pernah dan tidak mau pegang pisau. Dia jago makeup dan lebih suka pegang brush serta palette. Lebih gampang untuk cari duit, katanya. Memang nggak salah, sih. Dari hasil menjadi MUA sambil kuliah, bahkan Ibel bisa menghidupi dan menyekolahkan Sabrina.

"Mau masak apa?" tanya Juned yang tiba-tiba sudah berdiri di seberang counter top, sepuluh menit kemudian.

Sabrina mengangkat wajah dari udang windu yang sedang dikupasnya.

"Udang goreng telor asin sama oseng kangkung."

"Elah, kayak anak kosan aja oseng kangkung!" Juned manyun.

"Kita kan anak panti sekarang. Kudu hemat dan bersahaja. Kasian yang susah makan di luar sana kalo semua bahan makanan kita borong dan hambur-hamburin. Duitnya emang milik kita sendiri, tapi sumber daya alam ini milik Indonesia."

"Prett!" Jun memutar bola mata, sekilas memperhatikan Milo yang sedang berjalan-jalan mengitari kaki Sabrina tak henti-henti. Anjing itu jelas nampak tidak betah berada di rumah Zane. "Sini, gue lanjut kupasin. Lo buruan mandi deh. Itu ada iler kering di dagu lo! Jijik banget!"

Sabrina mendengus. Mana pernah dia ngiler pas tidur?! Lagipula semalam dia tidak lupa pakai sheetmask sebelum tidur. Pasti yang ada pagi ini malah wajahnya terlihat glowing! Saking glowingnya sampai bisa dipakai buat ngaca.

"Kalo gue lama, bantu potongin kangkungnya sekalian, ya. Tangkainya jangan lupa dibelah, tapi, biar bisa dicuci bersih."

Sabrina mencuci tangan, mengangkat Milo kecil mungil ke pelukannya.

"Ayo Sayang, mommy mandiin sekalian!" ujarnya sambil menciumi si Milo yang malang.


~


Junaedi doyan banget udang. Dari tadi sambil menggoreng, dia tak henti-hentinya mencomot udang yang baru diangkat dari saringan. Sabrina sampai geleng-geleng sendiri. Dia gemas karena yang dimakan Jun sepertinya lebih banyak ketimbang yang dia tuang ke piring saji. Bukannya Sabrina pelit. Cuma gemas saja. Nggak bisa apa makannya nunggu semua matang dulu? Ckckck. Emang beda kalau cewek dan cowok yang masak!

"Bangunin Zane, Sab," ujar Juned sambil meletakkan piring udang ke meja makan, setelah Sabrina yakin dirinya sudah kenyang duluan.

Sabrina yang sedang menuangkan jus jeruk mendelikkan mata padanya. Salah satu hal yang akan Sabrina hindari selama tinggal di sini adalah membangunkan Zane. You know the reason, right? "Ogah! Lo aja."

"Lah?"

"Lo aja, Jun. Males gue. Dia tuh kalo tidur suka nggak pake baju."

"Emang udah pernah lihat?"

Sabrina tidak menyahut. Malas.

Malas kebayang-bayang lagi.

Ngebayangin Shawn Mendes sampai kebawa mimpi mah oke. Di alam mimpi dirinya diapa-apain juga woles. Tapi kalo kebayang-bayang Zane? Dosa besar!

"Ya udah sih, itung-itung latihan. Nanti kalo lo kawin kan pemandangannya gitu-gitu juga."

"Sialan lo!" Sabrina berseru keras melihat Jun kabur ke kamarnya di lantai atas dengan alasan mengambil HP yang tertinggal.


~


Dengan langkah gontai, Sabrina menghampiri pintu kamar Zane.

Tenggorokannya mendadak kering.

It's normal, ya nggak sih? Dengan body seseksi itu, nggak tertutup kain pula, jelas normal kan kalau Sabrina jadi agak bersemu merah saat mengingatnya? Terlepas dari siapapun dia, cewek mana yang nggak memimpikan melihat otot-otot terlatih sempurna seperti itu?

Hush! Waras, Sab! Daripada Zane, mending lo ngelampiasin kejablayan lo ke Akmal aja nanti kalau karantina udah kelar!

"Zane udah siang. Ini hari kerja, lho!" Sabrina mengetuk pintu tiga kali.

Seperti dugaannya, tidak ada sahutan.

Kalau itu orang sehari-hari memang selalu bangun kesiangan, lalu siapa yang setiap pagi bertugas membangunkannya? Sabrina jadi penasaran. Jangan-jangan Rachel yang tiap hari mampir ke sini supaya bisa berangkat kerja bareng.

Sabrina memutar kenop pintu. Tidak dikunci.

Tanpa pikir panjang, segera diayunkannya pintu itu ke depan, dan kemudian dia melangkah masuk.

"Ups!" Sabrina cengengesan, kontan menghentikan langkah. Tiba-tiba jantungnya juga jadi berdegup kencang.

Zane sedang berjalan keluar dari kamar mandi dengan rambut basah, memperhatikan Sabrina yang ketahuan masuk ke kamar orang sembarangan dengan pandangan curiga.

Handuk besar terlilit di pinggangnya sampai sebatas lutut. Otot abdominal bak model Calvin Klein terpampang nyata, masih nampak lembab dengan beberapa tetesan air yang dilap tidak sempurna. Well, kali ini Sabrina tidak akan goyah. Dia sudah pernah melihat lebih dari ini. Plus di luar ada Junaedi yang jelas lebih hot kemana-mana. Bisa dibelai-belai pula.

"Paan? Mau lihat gue ganti baju?" Zane bertanya songong, berjalan santai menuju lemari.

Sabrina yang masih berdiri diam tidak jauh dari ambang pintu sontak ketawa jahat. Zane salah nantangin orang!

"Boleh. Buruan, gih. Gue tungguin. Nanti paybacknya gue kasih sarapan enak."



... to be continued


Warning: Physical Distancing! [COMPLETED]Où les histoires vivent. Découvrez maintenant